Tahun Politik, demikianlah kita menyebut nama lain dari tahun 2019. Dalam sejarah Indonesia, tensi tahun politik ini semakin memanas, lantaran Pemilihan Umum (Pemilu) diadakan secara serentak, untuk memilih para legislator dan terutama Capres-cawapres.
Tensi ini semakin diperparah dengan munculnya Golongan putih (Golput), yang secara terang-terangan menyatakan pilihan untuk tidak memilih. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa memilih untuk tidak memilih? Apakah basis rasionalnya cukup untuk bisa diterima bahwa menjadi golput itu dibenarkan?
Esensi Pemilu pada dasarnya, Pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali, mengandung hal mendasar dari eksistensi hidup manusia. “Life is all about what we choose”, sesungguhnya kehidupan adalah mengenai apa yg kita pilih, sebuah pertarungan pilihan yang terus berjalan dari waktu ke waktu.
Pemilu juga sama. Pemilu merupakan bagian dari hasrat dasar manusia untuk memilih, karena dengan memilih, kualitas hidup seseorang bisa diketahui. Dalam Pemilu sejatinya terkandung dua hal mendasar yaitu Pesta Demokrasi dan Pesta Kontestasi.
Disebut Pesta Demokrasi mengandung makna bahwa negara mengundang warga negara untuk berpesta, bergembira bersama dalam momentum persatuan. Analoginya persis seperti pesta perkawinan: tamu undangan yang datang boleh saja berbeda warna pakaian, namun tujuannya tetap satu yaitu ikut berbahagia bersama mempelai.
Tentu saja menjadi aneh bila Pemilu yang adalah pesta ini menjadi beban antara paslon dan para pendukungnya. Kadar demokrasi kita bisa dengan mudah ditebak bila Pemilu tidak lagi menjadi pesta bahagia, melainkan tawuran elektabilitas. Disebut Pesta Kontestasi karena ada pertarungan kontestan yang berkualitas. Ukuran kualitas kontestan bisa diketahui lewat rekam jejak, kepribadian, prestasi, dan banyak hal lainnya.
Kualitas kontestan itu harus mampu bertarung secara bermartabat, mencegah black campaign, mencegah firehose of falsehood (Semburan dusta). Dalam pesta demokrasi sekaligus kontestasi tersebut, warga negara dididik untuk menjadi pemilih yang cerdas. Itulah sebabnya menjadi sangat aneh bila Pemilu melahirkan Golput.
Golput, Wajar-kah?
Tahun 1971, istilah Golput merebak. Pada masa di mana otoritarianisme Orde Baru membunuh demokrasi, Golput merupakan nama diri bagi kelompok pemilih yang datang ke TPS, namun tidak mencoblos gambar partai, melainkan mencoblos warna putih di luar gambar, sehingga suaranya menjadi “tidak sah”.
Dalam pemilu-pemilu selanjutnya, Golput semakin menjamur. Pada Pemilu 2014, angka Golput mencapai 30%. Untuk Pemilu 2019 ini, beberapa lembaga survei menilai bahwa angka Golput akan meningkat, terutama di kalangan swing voters dan undecided voters, yang mayoritas dihuni oleh generasi milenial. Dalam keniscayaan demokrasi semacam inilah Golput mulai dibenarkan sebagai satu perbuatan politik, yang memang secara hukum tidak disalahkan.
Hukum hanya menggarisbawahi larangan perbuatan yg mengajak orang untuk tidak menggunakan hak suaranya pada saat Pemilu, dengan janji atau imbalan materi tertentu.
Bila kita belajar dari Yunani, asal mula demokrasi lahir, tidak dikenal “Pilihan untuk tidak memilih”. Pada zaman tersebut, semua anggota polis (Semacam distrik) berkumpul dan bertemu (Face to face) untuk memutuskan hal-hal yang bersifat publik atau kemajuan bersama. Seharusnya hal ini disadari oleh para pemilih.
Urusan negara bukanlah urusan privat, melainkan urusan publik, di mana tanggungjawab sebagai warga negara dipertaruhkan. Memilih pemimpin adalah urusan publik, karena berkaitan dengan kemaslahatan bangsa. Untuk itu sangat tidak beralasan bila orang memilih untuk tidak memilih.
Di beberapa negara Eropa semisal Belgia dan Austria, memilih merupakan kewajiban yang disertai pidana penjara bila tidak memilih. Di Fiji pun demikian. Di Australia, pemilu merupakan pesta yang sangat meriah dan menjadi momentum kegembiraan bersama sehingga semua orang diwajibkan untuk memilih. Di Singapura pun diwajibkan untuk memberikan alasan yang sangat mendasar bila tidak memilih. Di Italia, para pemilih yang tidak memilih, tidak akan diberikan layanan daycare. Syukurlah bawah demokrasi di Indonesia jauh dari sekadar kewajiban dan larangan. Negara sudah menyediakan hari pesta, lalu mengapa harus menjauh dari pesta?
Sejauh ini ada tiga jenis Golput, yaitu Golput Ideologis (Golput yang tidak memilih karena calon pemimpin tidak sesuai ekspektasi), Golput teknis (Tidak memilih karena hal teknis semisal KTP, jarak yang jauh dari TPS), dan Golput apatis (Tidak memilih karena merasa tidak penting). Berbagai alasan Golput menurut hemat saya tidak dapat diterima karena sesungguhnya memilih pemimpin sama dengan membangun harapan bernegara.
Selain itu, tindakan memilih pemimpin menunjukkan kualitas moral seseorang. Bila kita membaca karya Lawrence Kohlberg tentang Psychology of Moral Development, kita dapat menemukan bahwa semakin dewasa seseorang, maka moralitasnya semakin teruji. Perbuatan memilih sesungguhnya menggambarkan tahap moral paling utama dalam diri manusia, yaitu Prinsip Kehidupan yang melebihi kontrak bernegara ataupun ketakutan pada sanksi.
Ada pula alasan lain mengapa Golput berkembang, yaitu bahwa dalam kontestasi, tidak ada paslon yang sesuai dengan ideologi atau keinginan. Alasan ini sangat konservatif, karena bagaimanapun juga, tidak ada satu orang pun yang sempurna, termasuk pemimpin. Memilih untuk Golput sama dengan menambahkan ketidaksempurnaan itu.
Tentu hal ini sangat berbahaya. Negara tidak butuh orang yang sempurna untuk memimpin, negara hanya butuh orang baik untuk menjadi nakhoda. Jadi, apakah harus Golput? Apa yang akan terjadi bila gara-gara Anda Golput, lalu negara jatuh ke tangan orang jahat? Siapa yang akan Anda salahkan? Masa depan bangsa berada di tangan kita.
Datang dan pilihlah pemimpinmu di tanggal 17 April 2019. Syukur-syukur bisa ketemu jodoh di sana.
Semarang, 2 April 2019
Dr. Antoni Laot Kian
Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang