FAKFAK,sorongraya.co – 17 tahun lalu, sekadar bermimpipun, mungkin Rohayanti tak berani. Bagi ibu tiga anak ini, yang penting bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan anaknya, itu sudah cukup. Kini, melihat anaknya bisa kuliah hingga S-2, baginya benar-benar sebuah anugerah luar biasa, yang harus disyukuri.
Seperti kebanyakan warga Sragen, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada umumnya, perantauannya di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, pada 2002 silam, tak lebih dari upaya menyambung hidup, mencoba peruntungan di negeri orang, daripada “berdesak-desakan” di kampung halaman.
Tekad Mbak Yatik, panggilannya, dimulai dengan berjualan jamu keliling. Ada cabe lempuyang, beras kencur, serta jamu lainnya yang handmade alias dibuat sendiri.
Tahun pertama, dilaluinya berjualan jamu gendong dengan berjalan kaki. Sekira jam 9 pagi, Mbak Yatik sudah keluar kosnya yang berada di daerah puncak, Fakfak, menyusuri jalanan naik turun yang menjadi ciri khas daerah Fakfak. Langkah kakinya juga harus mengikuti tatanan batu batu di sela-sela rumah warga, untuk menawarkan jamunya.
“Awalnya jalan kaki. Namanya saja masih baru memulai dan saya juga belum mengenal Fakfak. Lama-lama, jika berjualan di sekitar daerah Puncak ternyata jamunya masih tersisa, saya naik ojek dan berjualan di daerah Wagom. Begitu terus sampai beberapa bulan. Ya, namanya berjualan, kadang jamu tidak habis. Kalau sudah begitu, jamu harus dibuang. Sebab tidak bisa tahan hingga dua hari,” urai Mbak Yatik, kedua matanya melihat atap warungnya, mengenang “awal karirnya” berjualan jamu gendong keliling.
Kerinduannya sebagai seorang ibu dari tiga anak yang masih diasuh neneknya di kampung, harus ia redam. Bercengkerama dengan teman-teman sedaerah, menyapa para pelanggan jamunya, adalah upayanya menyisihkan rasa kangen itu. Tekadnya bulat, suatu saat ia harus bisa membawa anaknya ke Fakfak, atau, dirinya kembali pulang kampung membawa kegagalan.
“Dari tabungan, akhirnya saya bisa membeli sepeda motor bekas. Murah meriah, yang penting bisa dinaiki, berjualan hingga cukup jauh, pulang dan istirahat. Rutin begitu. Kadang muncul juga rasa lelah dan bosan,” katanya. “Lalu, tahun 2008 saya putuskan untuk menjemput dua anak saya, Muhammad Misbachudin dan adiknya, Nur Sakinah. Kebetulan saat itu pas waktunya mereka masuk SMA. Jadi begitu tiba di Fakfak, mereka saya masukkan ke SMK Yapis Fakfak. Sedangkan adiknya yang bungsu, masih diasuh neneknya di kampung,” tambahnya.
Udin, panggilan Misbachudin dan Nur, keduanya beranjak remaja. Tentu kebutuhannya juga bertambah. Dibantu kedua anaknya, Mbak Yatik lantas menyewa rumah papan di depan RRI Fakfak. Bagian atas dipakai untuk membuka usaha warung makan, dan di bagian bawah digunakan sebagai dapur dan tempat tinggal.
“Tiap hari naik turun tangga. Kentol (betis) jadi besar dan kuat,” kata Mbak Yatik lalu tertawa.
Mbak Yatik merasa sangat beruntung, biaya pendidikan di Fakfak banyak disubsidi pemerintah. Dengan begitu, penghasilannya bisa difokuskan pada kelangsungan hidup. Kalaupun ada biaya tambahan untuk sekolah Udin dan Nur, paling sebatas beli seragam dan buku. Udin dan Nur juga cukup berjalan kaki untuk ke sekolah yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari warungnya.
“Alhamdulillah, soal biaya pendidikan benar-benar terbantu. Seandainya keduanya sekolah di Jawa, tentu biayanya akan memberatkan saya. Selain itu, mereka termasuk cerdas. Saya mensyukuri hal itu. Bagi saya, anak-anak saya bagaikan sinar rembulan. Terangnya tak menyilaukan, namun cukup untuk menerangi langkah kaki,” kata Mbak Yatik, seraya ujung jemarinya mempermainkan ujung bajunya.
Tak terasa, tiga tahun berlalu, dan mengutip kalimat Mbak Yatik, tibalah masa pusing kembali. Ya, orang tua mana yang tidak pusing memikirkan pendidikan anan-anaknya. Bahkan, dua anak sekaligus. Dirinya tak tega bila membiarkan anaknya tak kuliah. Sedangkan biaya kuliah, tentu tak sedikit.
“Kalau ingat saat itu, inginnya kuliah di Jawa, begitu. Teman-teman banyak yang kuliah di luar Fakfak. Tapi tentu saya harus tahu diri. Kasihan Ma’e bila harus kuliah jauh-jauh. Akhirnya, saya dan Mas Udin memilih kuliah di Politeknik Negeri Fakfak saja. Toh, statusnya negeri,” kata Nur bercerita, ketika dihubungi melalui telepon sellulernya.
Nur akhirnya memilih jurusan manajemen informatika, sedangkan Udin masuk jurusan teknik mesin. Ternyata, keputusan mereka untuk kuliah di Politeknik Negeri Fakfak, tidak salah. Dari kampus yang berada “di tengah hutan” dan cukup jauh dari keramaian inilah, alur garis tangan mereka berubah.
“Saat itu, pihak kampus bekerjasama dengan BP, salah satu perusahaan minyak yang beroperasi di Kabupaten Bintuni. Intinya, tahun 2015 BP menyediakan beasiswa bagi kami untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni D-4. Saya dan Mas Udin mendapat beasiswa meraih D-4 di Politeknik Sriwijaya, Palembang. Bedanya, saya jurusan manajemen informatika, sedangkan Mas Udin jurusan teknik mesin. Dengan pendidikan itu, setelah lulus kami harus kembali dan mengajar di kampus kami, Politeknik Negeri Fakfak,” terang Nur. “Judulnya, kami jadi dosen, gitu. Sesuatu yang sebelumnya tidak kami bayangkan. Alhamdulillah, kami mengajar,” imbuh Nur yang meraih predikat “Dengan Pujian” saat lulus D-3 Politeknik Negeri Fakfak ini.
Bagi Mbak Yatik, prestasi kedua anaknya membawa kebahagiaan tersendiri. Dua anaknya sekaligus, lulus D-3 dalam waktu bersamaan dari kampus yang sama. Kemudian keduanya mendapat beasiswa untuk kuliah lanjutan. Dan, keduanya mengajar. Jadi dosen!
“Syukur, mereka bisa mengajar di Politeknik Negeri Fakfak. Dan saat ini, Udin dan Nur kuliah lagi menempuh S-2. Alhamdulillah, Gusti,” bulir-bulir air mata bahagia dan bangga merembes turun membasahi pipi wanita berusia 49 tahun itu.
“Saya setahun lalu mendapat beasiswa dari Dikti untuk kuliah lagi, kejar S-2 di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Sedangkan Mas Udin ambil jurusan teknik mesin di Universitas Brawijaya, Malang. Hal ini merupakan buah doa dari Ma’e dan keluarga. Kami belum mampu membalas semua jerih payah Ma’e. Dan kami tak mungkin bisa membalasnya, kecuali dengan doa kami,” ujar Nur, ada isak disela-sela kalimatnya.
Dua anaknya tahun depan meraih S-2. Meski begitu, Mbak Yatik akan tetap membuka warungnya. Racikan bumbunya akan selalu dirindukan pelanggannya. Dan, sinar rembulan mulai nampak dari celah awan-awan putih yang mulai tersibak. Terang dan menentramkan hatinya.