JAKARTA,sorongraya.co – Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Papua Barat Daya bukanlah pengadilan, yang menentukan salah dan benar atas Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD).
Pernyataan tersebut disampaikan praktisi hukum Jatir Yudha Marau melalui siran pers, Jumat, 20 September 2024.
Menurutnya, KPU Papua Barat Daya adalah penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) bukan peradilan.
KPU Papua Barat Daya tidak bisa kemudian mengadili Surat Keputusan MRPPBD Nomor 10 /MRP.PBD/2-2024.
” Saya harus sehingga pembodohan hukum yang sementara dimainkan tidak menyesatkan masyarakat,” ujarnya.
Yudha mengungkapkan, tanggal 14 September 2024 lalu KPU Papua Barat Daya telah mengeluarkan pengumuman untuk mendapatkan tanggapan masyarakat terhadap lima Bapaslon yang nantinya dinyatakan Memenuhi Syarat atau Tidak Memenuhi Syarat.
Dalam pengumuman itu KPU Papua Barat Daya lebih mengkhususkan perhatian terhadap salah satu Bapaslon yang tidak mendapatkan persetujuan MRPBD.
Kemudian, KPU PBD melakukan tindakan sebagai lembaga peradilan dengan turun menguji verifikasi faktual yang telah dilakukan oleh MRPBD.
” Hanya dengan dasar mendapatkan surat tanggapan masyarakat atau Pengakuan Lembaga Adat Ambel Waigeo Raja Ampat dan Lembaga Adat Suku Kuri dengan mengunakan dasar Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 29/2011, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU Momor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, PKPU/8/2024, Surat Dinas KPU RI,” ungkapnya.
Yuda menyebut dalam pengumumannya KPU dan Bawaslu Papua Barat Daya beserta pihak terkait akan melakukan Penulusuran, Pendalaman dan Verifikasi Faktual terhadap Pengakuan LMA Ambel Waigeo, Raja Ampat dan Keputusan MRP No.10/MRP.PBD/2-2024 tanggal 22 September 2024.
” Saya ingatkan KPU PBD untuk tidak menjadi lembaga pengadilan yang kemudian bertindak mengadili sendiri Surat Keputusan MRP Nomor 10/MRP.PBD/2-2024 tanggal 22 September 2024 yang tidak memberikan persetujuan terhadap 1 dari 5 bapaslon gubernur dan wakil gubernur Papua Barat Daya yang tidak mendapatkan persetujuan dari MRPBD tentang keaslian sebagai OAP,” tegasnya.
Dia pun mengingatkan KPU PBD harus taat dan tunduk pada UU Otus dan PKPU Nomor 10 Tahun 2024 tentang perubahan atas PKPU Nomor 8 Tahun 2024 sebagaimana telah diatur untuk pemilihan di daerah khusus dalam Pasal 138 Ayat (1) dan (2).
Yudha menambahkam dalam Pasal 140 PKPU Nomor 8 Tahun 2024 menyebutkan bahwa Cagub dan Wagub di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Papua Barat Daya memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari MRP di masing-masing provinsi.
” Dengan dasar PKPU tersebut diatas telah jelas dan terang bahwa Cagub dan Wagub di Provinsi Papua Barat Daya harus memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari MRPBD,” tambahnya.
Lebih lanjut Yudha mempertanyakan tindakan yang dilakukan KPU PBD bersama pihak terkait melakukan penulusuran, pendalaman dan verifikasi faktual terhadap pengakuan LMA Ambel Waigeo Raja Ampat dan Keputusan MRP Nomor 10/MRP.PBD/2-2024 tanggal 22 September 2024.
Kesimpulannya, KPU PBD menilai lain, berbeda dengan yang sebelumnya diputuskan oleh MRPBD. KPU PBD kemudian menetapkan bapaslon tersebut sebagai peserta pemilukada di PBD.
” Lantas, bagaimana dengan ketentuan dalam UU Otsus dan ketentuan dalam PKPU yang menyatakan Cagub dan Cawagub di provinsi Provinsi Papua Barat Daya memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari MRPBD,” tanyanya.
Yudha menilai bahwa KPU telah bertindak melampaui kewenangannya dan sewenang-Wenang karena mengeluarkan sendiri pertimbagan dan persetujuan bagi bapaslon yang bukan menjadi kewenangannya.
” Seharusnya sebagai regulatot KPU PBD hanya menjalankan apa yang telah tertuang dalam PKPU, bukan mencari petimbangan dari putusan MK yang belum dituangkan menjadi UU Otsus dan PKPU. ” Itu namanya KPU tegak lurus, bukan berpegang pada surat dinas,” pung
kasnya.
Dia kembali mengingatkan bahwa KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pilkada tidak diberikan kewenangan sedikitpun untuk menguji keabsahan SK MRPBD.
” Jika KPU PBD mengatakan berwenang tolong sampaikan ke publik, peraturan mana yang menjadi dasar pijakan bagi KPU memberikan pertimbangan dan persetujuan,” kata Yudha.
Yudha menyarankan, KPU tidak boleh menafsirkan putusan MK hanya dengan berdasarkan Surat Dinas KPU RI pada point 10 yang disebutkan ” Dalam Hal Pertimbangan MRP menyatakan bakal calon TMS OAP.
Sebaliknya, KPU PBD menyatakan persyaratan OAP memenuhi syarat apabila terdapat pertimbangan dan/atau pengakuan suku asli di Papua yang menyatakan penerimaan dan pengakuan atas nama calon dengan mengacu pada putusan MK Nomor : 29/PUU-IX/2011, Surat Dinas KPU RI tersebut.
” Jika KPU PBD menjadikan Surat Dinas untuk mengkesampingkan keputusan MRP, maka KPU PBD telah berubah fungsi menjadi lembaga pengadilan yang menganulir keputusan MRP,” kata Yudha.
Dirinya prihatin bahwa Surat Dinas KPU bertentangan dengan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 sebab tedaksi pada poin 10 SD KPU tidak diatur dalam bentuk PKPU sehingga mengikat.
” Jika ada pihak yang keberatan atas PKPU dapat mengajukan upaya hukum,” ucapnya.
Pria yang akrab disapa Yudha itu mengingatkan bahwa Surat Dinas KPU tidak tercantum dalam herarkis tata urutan perundang-undangan sehingga tidak boleh bertentangan dengan PKPU dan ketentuan yang telah jelas diatur dalam UU.
” Kami sangat menyayangkan pernyataan KPU yang seolah-olah menyederhanakan persolaan dengan menyatakan.. ya kalau ada pihak yang tidak puas dengan keputusan ini silahkan ajukan gugatan MK dan PTUN. Di sisi lain KPU PBD sendiri tidak menghargai adanya gugatan yang sedang digugat ke PTUN Jayapura, meskipun pada akhirnya dicabut,” tutupnya.