SORONG. sorongraya.co – Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mendesak Presiden Jokowi untuk menghentikan rencana penambahan pasukan TNI – Polri ke Kabupaten Mimika, Tembagapura, dengan mengedepankan pendekatan dialogis.
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Cristian Warinussy mengatakan untuk melakukan pendekatan dialogis dengan menugaskan tiga orang person in charge mengenai Dialog Papua-Jakarta yang sudah ditunjuk pada tanggal 15 Agustus 2017, masing-masing Pater DR. Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki untuk mempersiapkan segenap langkah penyelesaian konflik sosial-politik di Tanah Papua, dimulai dari kasus Tembagapura-Kabupaten Mimika tersebut.
“Penyelesaian kasus Tembagapura, Kabupaten Mimika tentu tidak bisa hanya melibatkan para pemangku kepentingan (Stakeholder) lokal di Tembagapura, Mimika maupun Papua, akan tetapi perlu juga melibatkan kaum diaspora Papua yang ada di luar negeri,” kata Yan kepada sorongraya.co. Selasa, 14 November 2017.
Dikatakannya, berbagai studi ilmiah sepanjang 10 tahun terakhir, sudah menunjukkan indikasi kuat bahwa penyelenggaraan proses peralihan administrasi kekuasaan dari Pemerintah Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa dan Indonesia pada tahun 1962-1963 serta penyelenggaraan act of free choice tahun 1969 berbau politik ekonomi kapitalis serta cenderung melanggar hak menentukan nasib sendiri Orang Asli papua (OAP) sesuai standar hukum internasional.
“Seperti hasil penelitian dari Prof. J. Drooglever dan tim yang ditulis dalam buku berjudul : Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s van Westelijk Nieuw-Guinea en Grenzen van het Zelfbeschikkingrechts. Atau judul dalam bahasa Indonesia Tindakan Pilihan Bebas, Orang papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Serta hasil penelitian DR.Greg Poulgrain yang ditulis dalam buku berjudul Bayang Bayang Intervensi, Perang siasat John F.Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno, yang judul aslinya adalah The incubus of intervention, conflicting Indonesian Strategies of John F.Kennedy dan Allen Dulles.
Kesimpulan bahwa mega proyek pertambangan emas di Tembagapura sebagai “faktor pemicu” konflik politik Amerika Serikat-Belanda-Indonesia yang “ditengahi” PBB tahun 1960-1969 sesungguhnya makin jelas saat ini dengan adanya jejak gerakan kelompok TPNP yang merupakan bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sehingga pendekatan dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua sesungguhnya sudah harus didorong oleh Presiden Jokowi melalui dialog damai dengan melibatkan semua pihak yang memiliki “andil” dalam konflik tersebut untuk duduk dan berbicara mengenai cara mengakhiri konflik tersebut.
LP3BH kembali mendesak Presiden Jokowi untuk mendaya-gunakan tenaga, kemampuan dan kapasitas dari Pater Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki sebagai person in charge dalam mendorong segera penyelesaian konflik sosia-politik di Tanah Papua dan secara implisit pada konflik Tembagapura tersebut melalui dialog yang all inclusive segera sebelum kita memasuki Perayaan Natal Tahun 2017.
Menurut Yan, memuncaknya konflik sosial-politik di Tanah Papua yang tergambar dalam Kasus Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua saat ini harus mendapat perhatian penuh dari Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Presiden Jokowi mengenai kasus kekerasan bersenjata yang sedang terjadi dan menjurus ke arah konflik terbuka antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua (TPNP) yang diduga keras terlibat dalam sejumlah kekerasan bersenjata di sekitar area pertambangan mega proyek PT.Freeport Indonesia Company (FIC) saat ini.
Kendatipun belum juga da pernyataan resmi dari para pemimpin perjuangan politik rakyat Papua di dalam dan luar negeri mengenai apakah serangkaian tindakan kekerasan bersenjata dari kelompok TPNP di Tembagapura tersebut murni bagian dari gerakan perjuangan Papua Merdeka atau tidak?
Namun demikian beberapa pernyataan dari pimpinan pasukan TPNP yang diduga terlibat dalam serangan bersenjata di Tembagapura tersebut sudah menegaskan jika aksi kelompoknya adalah merupakan bagian dari tuntutan besar Rakyat Papua untuk memperoleh Hak Menentukan Nasib Sendiri (rights to self determination) Orang Asli Papua (OAP).
Dengan demikian jika dikaitkan dengan perkembangan dunia, khususnya di ranah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dewasa ini, dimana persoalan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan mendesak sudah diangkat dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir ini oleh sejumlah Pemimpin Negara dari kawasan Pasifik dan Karibia.
Apalagi dalam Sidang Majelis Umum PBB September 2017 lalu, 4 (empat) negara kawasan Pasifik dan Karibia telah mendesak PBB juga untuk mempertimbangkan pemenuhan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua yang dipandang mengalami pelanggaran HAM secara berkesinambungan sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir dan dapat beresiko pada pemusnahan etnis Orang Asli Papua (OAP).
Pada titik tersebut, LP3BH melihat bahwa konflik bersenjata saat ini di Tembagapura sarat muatan politik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengedepankan pendekatan militer semata. [red]