Scroll untuk baca artikel
MetroPolitikTanah Papua

Aktivis Tolak Pemberian Gelar Adat oleh Ketua LMA Moi

×

Aktivis Tolak Pemberian Gelar Adat oleh Ketua LMA Moi

Sebarkan artikel ini
Titus Johanis Paa, Aktivis Muda Moi. [foto: dok-sr]
Example 468x60

SORONG, sorongraya.co – Pemberian gelar adat oleh Lembaga Masyarkat Adat Malamoi terhadap salah satu bakal calon gubernur Papua Barat Daya ditolak oleh Titus Johanis Paa, salah satu aktivis Muda Moi.

Kata Titus, dalam proses pengangkatan atau pemberian gelar anak adat terhadap yang bukan Orang Asli Papua haruslah melalui proses adat, dengan syarat yang telah ditentukan dalam adat itu sendiri. Bukan berdasarkan keinginan dari ketua LMA.

Jika amanat UU Otsus Tahun 2021 dicermati dengan baik, maka proses menobatan seseorang untuk masuk dalam suku OAP dilakukan tidak sembarang, hal ini harus dipahami dengan baik.

Tak hanya itu, kata Titus, yang menjadi dasar hukum penerbitan Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Adat, yang dikeluarkan oleh LMA Malamoi menurutnya tidak tepat.

Karena baginya, tidak satupun dasar hukum tersebut yang mendelegasikan kewenangan kepada LMA Malamoi, untuk memberikan pengakuan hak adat kepada setiap orang yang bukan berasal dari OAP, atau dari suku-suku diluar Papua, untuk dapat dinyatakan sebagai OAP.

“Jangan karena utang budi atau ada kontrak politik sehingga mengorbankan suku moi, untuk menjadi syarat utama dalam menopang suku non OAP agar dapat diakomodir sebagai calon kepala daerah di provinsi papua barat daya,” tegas Titus kepada sorongraya.co. Kamis 5 September 2024.

Menurutnya surat dukungan ketua LMA Malamoi terhadap salah satu bakal calon gubernur papua barat daya adalah bersifat pribadi, karena tidak melibatkan tokoh adat dari masing-masing sub suku moi.

“Jadi  ada tujuh Sub Suku di Moi, yang nanti akan bersepakat memberikan suatu surat pengakuan sebagai, anak adat dari suku yang bukan OAP untuk menjadi anak adat suku moi/menjadi OAP,” pungkasnya.

Lebih lanjut Titus mempertanyakan, kapan Ketua LMA Moi melakukan rapat dengan tokoh adat moi ataupun melalui forum-forum resmi untuk membahas pengangkatan sebagai anak adat. Hal ini kata Titus tidak pernah dilakukan.

“Pada posisi mana seorang lembaga adat memberikan surat semacam itu, dan kapan ada kesepakatan melalui forum resmi seperti musyawarah adat suku, barulah kemudian ketua bisa memberikan surat itu,” pungkasya.

Hal ini perlu diketahui bersama, bagaimana proses lembaga adat mengangkat anak adat, kedalam satu keluarga pemilik marga, tidak diatur dalam hukum positif, justru hukum positiflah yang mengakui status sesorang menjadi anak adat atau anak yang diangkat kedalam satu marga.

Oleh karena itu, Titus meminta agar Majelis Rakyat Papua Barat Daya tidak ragu dalam menetapkan Keputusan terkait keabsaan dokumen, pasangan calon yang bukan OAP.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.