SORONG,sorongraya.co- Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof. Dr. Eddy O.S. hiariej mengatakan, hakim tak boleh menjatuhkan pidana penjara terhadap seseorang jika ancaman hukumannya di bawah lima tahun melainkan pidana pengawasan.
” Ini bertujuan untuk menjaga over kapasitas di dalam Lembaga Pemasyarakatan,” kata Wamenkum Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej saat mensosialisasikan RUU KUHP di Universitas Victory Sorong, Kamis, 10 Agustus 2023.
Wamenkumham menambahkan, jika ancaman pidana tidak lebih dari 3 tahun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara melainkan pidana sosial.
” Baik pidana pengawasan maupun pidana kerja sosial syarat-syaratnya telah ditentukan. Walaupun pidana hukum adalah pidana pokok tetapi sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana, ” ujarnya.
Lebih lanjut Wamenkumham mengatakan, KUHP Nasional yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 lalu dan diundangkan pada 2 Januari 2023 adalah suatu proses panjang, memakan waktu 64 tahun saat diinisiasi pada tahun 1958.
” KUHP Nasional ini merubah paradigma hukum pidana dan merubah pola fikir Aparat Penegak Hukum (APH) dan seluruh masyarakat Indonesia,” ungkapnya
Eddy menilai, semua masyatakat berfikir bahwa tindak kejahatan dibalas dengan dihukum dan dipidanakan. Tidak lagi mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam dan tidak lagi mengedepankan hukum keadilan pada pembalasan tetapi merubah paradigma hukum pidana menjadi keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
“Janganlah berharap dengan KUHP baru ini sedikit-sedikit orang di penjara, sudah tidak lagi. Sekali lagi saya katakan bahwa dengan KUHP nasional baru ini menghindari pengenaan penjara dalam waktu singkat,” tambahnya.
Sementara Penjabat Gubernur Papua Barat Daya, Dr. Muhammad Musa’ad memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sudah datang ke kota Sorong, Papua Barat Daya, khususnya di Universitas Victory Sorong.
Penjabat Gubernur mengaku, ada yang menarik dari penjelasan yang disampaikan Wamenkumham. Ada paradigma baru yang berkaitan dengan aspek hukum yang tidak harus masuk dalam tahanan.
” Pengawasan konteks Papua ada pengakuan terhadap pengadilan adat sehingga kasus-kasus adat seperti urusan batas wilayah, kasus ringan bisa diselesaikan dengan adat,” ujarnya.
Musa’ad menyebut, selama ini, setelah diselesaikan dengan pengadilan adat, dilanjutkan lagi ke pengadilan negeri, jadinya dua kali.
” Nantinya, akan kita sinergikan kembali supaya apa yang menjadi pengadilan adat harus dijelaskan dalam UU Otonomi khusus,” tutupnya.