Scroll untuk baca artikel
Metro

Miris, Meski Pensiun Pekerja di Kapal Tak Dapat Tunjangan

×

Miris, Meski Pensiun Pekerja di Kapal Tak Dapat Tunjangan

Sebarkan artikel ini
Marthen Rahanra, Koordinator Wilayah Pengawas Ketenagakerjaan di Sorong Raya
Marthen Rahanra, Koordinator Wilayah Pengawas Ketenagakerjaan di Sorong Raya

SORONG. sorongraya.co – Beginilah nasib sejumlah pekerja di kapal milik salah satu perusahaan swasta yang tidak memberikan tunjangan kepada awak kapalnya saat pensiun maupun di Putus Hubungan Kerja (PHK).

Sebab, perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran itu masih menggunakan Perjanjian Kerja Laut (PKL) mengacu pada UU tahun 1940, yang tidak mengatur hak-hak awak kapal untuk memperoleh perlindungan dan kesejahteraan.

Marthen Rahanra, Koordinator Wilayah Pengawas Ketenagakerjaan di Sorong Raya mengaku banyak menerima pengaduan dari pekerja di bidang perkapalan tentang perlindungan kesejahteraan awak kapal.

Meski para pekerja di kapal berjibaku dengan ombak untuk meningkatkan pendapatan perusahaan, namun hak mereka seperti BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan tidak diperoleh.

“Hal ini tentu saja sangat merugikan para awak kapal yang bekerja pada perusahan pelayaran,” tutur Marthen kepada sorongraya.co di ruang kerjanya belum lama ini.

Menurutnya, di dalam PKL tidak di atur tentang batas usia pensiun, sehingga jika ada awak kapal yang mengajukan permohonan pensiun sesuai PKL dianggap mengundurkan diri, yang memprihatinkan adalah sebagian besar awak kapal menerima upah di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP).

Berdasarkan temuan di lapangan Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang dibuat oleh perusahan pelayaran di wilayawah sorong raya sangat merugikan pekerja, contoh kasus ada salah satu juru mudi yang meninggal di atas kapal dalam perjalanan sorong ke fak-fak atas nama Fahrudin Pasaday, setelah dicek ke BPJS ternyata nama yang bersangkutan tidak terdaftar pada BPJS karena tidak diatur dalam PKL, pihak perusahan hanya memberikan santunan sebesar tiga bulan gaji sebagaimana yang diatur dalam PKL itu.

Contoh lain, lanjut Marthen ada awak kapal yang bekerja selama 44 tahun namun karena mengalami gangguan penglihatan serta usianya telah mencapai 68 tahun, sehingga yang bersangkutan mengajukan permohonan pensiun, tetapi ditolak oleh perusahan dengan alasan tidak diatur dalam PKL.

Untuk mengatasi hal itu, Marthen mengaku jika pihaknya telah mengirim surat untuk meminta petunjuk kepada Mentri Perhubungan, Menteri Perikanan dan Kelautan serta Menteri Tenaga Kerja. “Kita tunggu saja hasilnya sementara,” tutur Marthen.

Sementara, Salim Nur, Kuasa Hukum para awak kapal yang bekerja pada kapal PT CRA membenarkan upah awak kapal dibawah standar UMP, bahkan saat di PHK mereka tidak mendapat pesangon, ironisnya para pekerja kapal juga tidak terdaftar sebagai peserta pada BPJS ketenagakerjaan atau pun BPJS Kesehatan.

“Ada sejumlah klien kami yang di PHK mereka tidak mendapatkan pasangon, selain itu tidak pula terdaftar sebagai BPJS kesehatan maupun tenagakerja, inikan sangat prihatinkan, mereka setiap harinya di laut untuk mencari hasil tetapi yang diberikan perusahaan tidak wajar,” tutur Salim.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan sejumlah kalangan, kenapa Perjanjian Kerja Laut masih berpatokan pada UU tahun 1940? Padahal di dalam pasal 151 Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, kemudian pasal 21 sampai 31 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang kepelautan, serta pasal 87 dan pasal 181 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang angkutan di perairan dan yang terakhir Peraturan Mentri Perhubungan Nomor 84 tahun 2013 tentang perekrutan dan penempatan awak kapal secara jelas telah mengatur tentang perlindungan serta hak-hak karyawan selama dalam masa kontrak. [nko]

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.