SORONG, sorongraya.co-Ketua Forum Perjuangan Rakyat (Fopera) Papua Barat Daya, Yanto Ijie, menilai pelantikan pejabat Eselon 2, 3, dan 4 yang digelar pada 13 Oktober 2025 oleh Gubernur Papua Barat Daya berlangsung tanpa kendali. Banyak pejabat yang masuk disebut sebagai “penumpang gelap” karena tidak memiliki kejelasan asal-usul dan administrasi yang jelas.
Meski demikian, Fopera memberikan apresiasi kepada tim pemenangan pasangan Elisa Kambu dan Ahmad Nausrau yang berhasil memenangkan Pilkada sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya.
“Provinsi Papua Barat Daya adalah hasil perjuangan dan gotong royong seluruh masyarakat, termasuk para elit daerah. Ini bukan provinsi tim sukses,” tegas Yanto Ijie dalam wawancara dengan sorongraya.co, Kamis, 16 Oktober 2025.
Yanto menambahkan, pelantikan pejabat kemarin banyak menimbulkan polemik yang perlu dikritisi dan diperbaiki.
“Pelantikan ini seperti kehilangan kendali atau lost control sehingga banyak ‘penumpang gelap’ masuk tanpa kejelasan asal-usulnya,” tambah Yanto.

Yang ertama, Kata Yanto, pelantikan pejabat Eselon 2, 3, dan 4 dilakukan tanpa memperhatikan asas profesionalitas dan keseimbangan. Provinsi Papua Barat Daya terdiri dari lima kabupaten dan satu kota, yang masing-masing memiliki jumlah penduduk dan wilayah berbeda. Seharusnya, dalam pelantikan ada keterwakilan dari seluruh kabupaten dan kota, khususnya para ASN yang berkompeten dan berintegritas.
Kedua, Tambahnya, pelantikan tersebut terkesan mengabaikan semangat lahirnya Provinsi Papua Barat Daya, yang hadir untuk memenuhi kebutuhan ASN dan masyarakat di wilayah Sorong Raya dengan mengakomodir sumber daya manusia lokal.
Ketiga, para pejuang pemekaran provinsi tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam penempatan jabatan, baik Eselon 2, 3, maupun 4. Padahal, Gubernur telah menempatkan Yakob Kareth, seorang pejuang pemekaran, dalam struktur pemerintahan. Seharusnya tim deklarator, presidium, dan percepatan pemekaran juga diakomodir dalam penempatan jabatan.
Keempat, administrasi kepegawaian tidak tertib. Beberapa pejabat Eselon 2, 3, bahkan 4 yang dilantik belum memperoleh persetujuan teknis (pertek) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), berdasarkan hasil investigasi lapangan Fopera. Kondisi ini berpotensi menyulitkan pejabat karena status kepegawaiannya tidak diakui secara formal, yang berdampak pada hak kepegawaian seperti usul kepangkatan dan usul berkala. Jika terjadi persoalan hukum, hal ini dapat menjadi tanggung jawab PJ Sekda Provinsi Papua Barat Daya.
Dan yang terakhir, pelantikan ini dinilai sebagai maladministrasi. Banyak pegawai belum berstatus resmi, sementara pengelolaan keuangan provinsi sudah mendapat rapor merah. Seharusnya administrasi kepegawaian lebih tertib dan teratur, bukan berdasarkan hubungan kedekatan atau kenalan.
Yanto menambahkan, menegaskan bahwa provinsi ini hadir bukan karena tim sukses, melainkan hasil perjuangan masyarakat. Oleh karena itu, Gubernur dan PJ Sekda harus memberikan perhatian kepada mereka yang berkontribusi dalam perjuangan pemekaran agar situasi Papua Barat Daya tetap kondusif.
“Provinsi ini hadir untuk semua, tanpa membedakan suku dan asal, baik Papua maupun non-Papua. Provinsi juga harus menjamin rasa keadilan bagi orang asli Papua sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 dan PP 106, yang mewajibkan mayoritas jabatan kepegawaian (sekitar 80%) diisi oleh orang asli Papua,” pungkasnya.
Terakhir, Yanto mengingatkan agar Gubernur tidak menciptakan konflik di antara sesama orang Papua, khususnya di lingkungan pejabat daerah.