SORONG,sorongraya.co– Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Penguatan Lembaga Adat dengan Studi Kasus Masyarakat Adat Malamoi” yang berlangsung di Aula Rektorat UMS Sorong pada Jumat, 21 Maret 2025.
Diskusi ini mengangkat isu penting mengenai penguatan lembaga adat, khususnya adat Malamoi, yang menjadi bagian integral dalam struktur sosial dan budaya masyarakat di wilayah Papua Barat Daya.
Diskusi dihadiri oleh berbagai narasumber, antara lain Jakson A. Klasibin, Intelektual Malamoi, PIt.Lurah Malawei, Rein Ario Howay; serta Dr. Dwi Pratiwi Markus Kaorodi, Magister Hukum Unamin.
Dalam kesempatan tersebut, Dekan Fakultas Hukum UMS, Sakti, menyampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan bagian dari upaya pengembangan studi ilmu hukum melalui diskusi yang melibatkan mahasiswa Program Magister Hukum, khususnya dalam menyelesaikan permasalahan terkait tesis mereka.
“Tujuan utama diskusi ini adalah untuk menggali solusi dari permasalahan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat adat Malamal, khususnya dalam penguatan lembaga adat mereka,” jelas Dekan Fakultas Hukum UMS.
Peserta FGD diutamakan dari kalangan mahasiswa Magister Hukum, yang juga dibekali dengan berbagai kegiatan untuk mendukung penyelesaian tesis mereka. Namun, diskusi ini juga diikuti oleh mahasiswa S1, kalangan umum, dan lembaga masyarakat lainnya.
Sementata itu, PIt.Lurah Malawei, Rein Ario Howay, yang turut menjadi pembicara dalam acara ini, mengungkapkan bahwa kegiatan FGD ini merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat.
“Kami bekerja sama dengan kampus untuk membahas isu-isu penting di kota Sorong, khususnya terkait penguatan kelembagaan LMA Malamoi. Banyak persoalan yang kami hadapi di pemerintahan, terutama terkait tanah dan hukum adat,” ungkap Howay.
Rein Ario menjelaskan bahwa struktur kelembagaan LMA Malamoi saat ini sangat semrawut dan berantakan, sehingga menyulitkan pemerintah dalam membuat kebijakan yang adil.
“Keputusan yang diambil dalam penyelesaian masalah tanah terkadang tidak ideal, karena meskipun masyarakat adat merasa memiliki tanah berdasarkan hak adat, hukum negara tetap menjadi acuan pemerintah. Ini menimbulkan dilema bagi kami di pemerintahan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rein Ario menyampaikan harapannya agar diskusi ini dapat menghasilkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada instansi terkait, seperti OPD, MRP Provinsi Papua Barat Daya, DPR, dan Kesbangpol, sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
“Kami berharap kebijakan yang dihasilkan bisa lebih mengakomodasi hak-hak masyarakat adat dengan cara yang benar dan tidak mudah terintervensi secara politik,” ujarnya.
Diskusi ini juga menyoroti permasalahan tanah yang menjadi isu utama dalam kehidupan masyarakat adat, mengingat potensi ekonomi yang besar di kota Sorong. “Banyak oknum yang memanfaatkan lembaga adat untuk kepentingan pribadi, sehingga penting untuk menemukan konsep yang tepat untuk menata lembaga adat ini agar bisa berjalan bersama dengan pemerintah,” tambah Rein Ario.