SORONG,sorongraya.co- Mantan karyawan PT Prima Mamberamo Sukses (Hotel Marina Mamberamo) menolak tawaran pesangon sebesar Rp 4 juta per orang. Besaran pesangon tersebut di nilai tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.
Mewakili 11 mantan karyawan, Ignasius menjelaskan, ada empat tuntutan yang kami ajukan, antara lain gaji selama dirumahkan, THR yang hanya di bayar dua kali kepada karyawan yang beragama nasrani dan islam, setelah itu tidak di bayar lagi. Tuntutan kami yang ketiga yakni status kerja, artinya apakah selama pandemi covid-19 ini kami masih berstatus karyawan ataukah tidak.
” Jika masih berstatus sebagai karyawan, paling tidak ada semacam kontrak kerja, yang mengatur tentang gaji dan tunjangan BPJS dan THR, ” kata Ignasius, Rabu, 06 April 2022.
Ignasius menambahkan, terkait tuntutan kami yang keempat, tunjangan BPJS Ketenagakerjaan yang menunggak sejak tahun 2019. Padahal selama bekerja gaji kami sudah di potong untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan.
” Ada juga rekan-rekan karyawan lainnya yang telah bekerja 3 tahun, namun sampai hari ini belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan,” kata Ignasius.
Lebih lanjut Ignasius mengatakan, karena terjadi permasalahan dan tidak adanya titik temu sehingga di lakukannya pertemuan bipartit yang difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong. Saat itu kami didampingi oleh Serikat Buruh, yang kemudian mendapat satu titik temu, yakni disepakati mengenai THR.
” Kesepkaatan ini berjalan selama beberapa tahun. Kendati demikian, tuntutan yang lainnya belum disanggupi oleh pihak perusahaan, makanya kami mencoba upaya lain dengan menggandeng PBHKP, akan tetapi tidak membuahkan hasil,” ujar Ignasius.
Ignasius pun mengaku bahwa Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong lalu mengeluarkan panggilan ketiga, hanya saja tidak direspon oleh pihak perusahaan. Akhirnya Disnaker menyarankan untuk di bawa ke DPRD Kota Sorong. Alhasil, terjadilah mediasi pertama tanggal 28 Maret 2022 lalu. Akan tetapi dibatalkan dengan alasan pemilik perusahaan, Antonius Chandra tidak hadir.
Mediasi kemudian diundur keesokan harinya, tepatnya tanggal 29 Maret 2022. Dari perusahaan diwakili oleh menejer perusahaan. Bagi kami penjelasan tersebut bagi kami menejer sama sekali tak memahami kebijakan perusahaan
Di sisi lain, dia menjelaskan tentang kondisi perusahaan yang tidak ada uang sehingga merumahkan karyawannya. Alasan ini selalu di pakai oleh perusahaan dari dulu,” ucapnya.
Ignasius mengungkapkan, dia beserta rekan-rekan yang lain sangat tidak puas dengan mediasi yang di lakukan oleh Komisi I DPRD Kota Sorong. Kuasa Hukum perusahaan sama sekali tidak menggubris tuntutan kami. Perusahaan malah menawarkan kepada setiap karyawan besaran pesangon Rp 4 juta.
” Kami terpojok dengan tawaran yang disampaikan perusahaan, karenanya saat itu kami sementara menyatakan menerima,” tambah Ignasius.
Pria yang telah bekerja selama 8 tahun ini membeberkan sesuai dengan aturan ketenagakerjaan, hak yang harus dbayarkan kepada karyawan antara lain pesangon, penghargaan, perumahan dan pengobatan.
Nah, perhitungan kami, jika karyawan bekerja 3 tahun, hak yang dia terima sesuai dengan aturan ketenagakerjaan akan menerima seluruh hak sebesar Rp 22 juta. Apalagi macam saya yang telah 8 tahun bekerja, otomatis Menerima sekitar Rp 40 juta.
Meskipun diantara kami ini ada bekerja hanya 3 tahun dan paling lama 13 tahun, perusahaan tidak mau tahu. Hak kita akan dibayarkan oleh perusahaan Rp 4 juta,” ujar Ignasius.
” Kami berharap, ketika permasalahan ini sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), biar menjadi pijakan bagi permasalahan ketenagakerjaan. Artinya, kasus yang menimpa kami jangan sampai dialami karyawan lain yang bekerja di perusahaan lain,” terang Ignasius sembari menambahkan, kami dirumahkan sejak 1 April 2019 dan baru di PHK tanggal 30 Maret 2022 lalu.
Kesepakatan yang di buat perusahaan dengan mantan karyawan di lakukan sepihak. Artinya tidak sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo PP Nomor 35 Tahun 2001 tentang Tenga Kerja.
Merujuk dari aturan tersebut pembayaran hak karyawan harus sesuai dengan aturan, bukan berdasarkan pemikiran sendiri atau rekayasa. Jadi, harus betul-betul memenuhi aturan main perundang-undangan.
Makanya, kami selaku kuasa hukum mantan karyawan melayangkan surat kepada Komisi I DPRD Kota Sorong sebab apa yang di lakukan perusahaan tidak sesuai dengan aturan,” tegas Markus Souissa.
Maks sapaan akrabnya berujar, seharusnya sebagai kuasa hukum perusahaan bisa membedakan mana seseorang yang terikat dengan tidak terikat oleh perusahaan.
” Jika penekanannya hanya mampu membayar Rp 4 juta rupiah, dasar hukum mana yang di pakai. Perlu di ingat bahwa mereka sudah melaksanakan kewajiban, wajar jika mereka menuntut haknya,” kata Maks.
Diakui Maks, apabila surat keberatan kami tidak juga mendapat tanggapan dari Disnaker Kota Sorong dan Komisi I DPRD Kota Sorong, kami akan mengajukan permasalahan ini ke PHI dan tentunya laporan polisi terkait dugaan intimidasi.
Sementara kuasa hukum perusahaan, Alberth Franstio menyampaikan, pihaknya telah bersepakat dengan mantan karyawan bahwa THR dan BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan satu kali sebeaar Rp 4 juta. Kesepakatan ini di buat tanggal 30 Maret 2022 lalu di DPRD Kota Sorong. Realisasinya di lakukan pada hari Jumat tanggal 1 April 2022.
Namun, ketika kami datang ke Dianaker Kota Sorong untuk merealisasikan hak karyawan ternyata diberitahu bahwa karyawan tidak hadir, sehingga dibatalkan sepihak.
Terus terang kami tidak terima dengan pembatalan sepihak ini. Seharusnya, Komisi I DPRD Kota Sorong kembali memanggil para pihak untuk dirapatkan kembali.
” Saya sudah berupaya meminta risalah pertemuan kepada Disnaker Kota Sorong dan Komisi I DPRD Kota Sorong akan tetapi belum diberikan. Kami juga telah menyampaikan surat sekaligus realisasi pembayaran kepada Disnaker dan Komisi I DPRD Kota Sorong,” ujar Alberth Rabu siang.
Alberth membenarkan bahwa pihaknya telah menerima surat dari kuasa hukum mantan karyawan. Hanya saja saya mau tegaskan bahwa tidak ada penekanan pada saat rapat bersama Disnaker dan Komisi I DPRD Kota Sorong serta pihak perusahaan dan mantan karyawan.
Menanggapi soal dasar perhitungan besaran hak yang di terima oleh mantan karyawan, Alberth berdalih sebelumnya telah ada pertemuan bipartit dan tripartit. Selain itu, pihaknya telah mengikuti instruksi Pemerintah Pusat dengan tidak memPHK karyawan melainkan dirumahkan.
Baru tiga bulan berjalan 11 mantan orang ini menanyakan status dan meminta pesangon. Kalau demikian, lanjut Alberth, artinya mereka minta di PHK. Sementara perusahaan tidak menginginkan hal itu. Permasalahan ini bergulir sampai pertemuan bipartit dan tripartit, panggilan kedua, panggilan ketiga hingga pertemuan di DPRD Kota Sorong.
Bahkan terjadi tawar menawar dari angka Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta sesuai kesepakatan. Sama sekali tidak ada pemaksaan.
” Kan pada waktu buat kesepakatan di DPRD Kota Sorong mereka tidak didampingi kuasa hukum. Setelah itu barulah pak Maks Souissa mendampingi mereka. Tidak benar jika ada penekanan atau pemaksaan,” kata Alberth.
Alberth mengungkapkan, sampai saat ini kami masih berupaya agar risalah pertemuan diberikan. Tetapi dari Disnaker Kota Sorong mengatakan tidak bisa karena ini aturan dewan.
Soal pembatalan sepihak dari mantan karyawan juga sudah saya cek suratnya ke Disnaker hingga DPRD Kota Sorong. Seharusnya dewan tak bisa berbuat begitu, seolah-olah cuci tangan.
” Yang jelas kami keberatan dengan pembatalan sepihak. Seharusnya juga dibuatkan berita acara resmibsoal pembatalan tersebut,” kata Alberth.