SORONG,sorongraya.co- Pasca penangkapan dan penahanan Ardilah Rahayu Pongoh, Tim Kuasa Hukum yang diketuai Max Mahare mengajukan permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Sorong, Selasa, 06 Desember 2022.
Melalui pesan whatsapp sore tadi Max Mahare menjelaskan ada beberapa alasan mendasar sehingga pihaknya mengajukan permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Sorong.
Menurut Max Mahare, alasan yang pertama, kliennya, dalam hal ini Ardilah Rahayu Pongoh tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 31 Januari 2019 dan penetapan status tersangka yang ditetapkan oleh termohon I.
Kedua, penetapan para pemohon sebagai tersangka oleh termohon I tidak didasarkan pada dua alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP.
Ketiga, terhadap termohon II, penangkapan dan penahanan atas diri para pemohon dan perpanjngan penahanan terhadap pemohon I dilakukan secara sewenang-wenang karena sikap Arogance of Power yang dipertontonkan oleh termohon II ke hadapan publik,” ujar Max Mahare.
Lebih lanjut Max Mahare mengatakan, atas alasan itulah melalui permohonan praperadilan kami memohon kepada hakim praperadilan agar kiranya mengabulkan permohonan kami untuk seluruhnya.
Menyatakan Sprindik termohon I nomor SP-DIK/22/I/2019/Rekrim tanggal 25 Januari 2019 terkait dengan Dugaan Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Jiwa Orang Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP dan Sprindik nomor SP.Sidik/75.a/IX/RES.1.7/Ditreskrimum tanggal 21 September 2022 terkait dengan Dugaan Tindak Pidana Pembunuhan Berencana sebagaimana dimaksud dalam Primer Pasal 340 KUHP, Subsider Pasal 338 KUHP, lebih subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP dan Pasal 56 KUHP yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2019 di Jalan Sorong-Makbon, Perumahan Bambu Kuning Kelurahan Giwu Kota Sorong adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
Selain itu, lanjut dia, menyatakan penetapan tersangka atas diri para pemohon yang dilakukan oleh termohon I adalah tidak sah. Menyatakan SPDP yang diterbitkan oleh termohon I tanggal 31 Januari 2019 dan 21 Agustus 2021 serta SPDP yang diterbitkan oleh termohon II tanggal 27 September 2021 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
” Menyatakan Surat Tanda Terima tanggal 9 Januari 2019 atas nama pemohon I berupa 1 unit HP dan STP tanggal 9 Maret 2019 atas nama pemohon II berupa 1 unit HP tidak sah dan tidak berdasar atas hukum,” ujar Max Mahare.
” Kami pun memohon agar hakim praperadilan memerintahkan kepada termohon I untuk mengembalikan 2 unit HP kepada pemohon I dan pemohon II. Memerintahkan kepada termohon II untuk mengeluarkan para pemohon dari Rutan,” tambahnya.
Bahkan pada poin sekanjutnya dalam permohonan, kami minta agar hakim praperadilan menyatakan tidak sahnya keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh para termohon dan memerintahkan para termohon untuk memulihkan hak para pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat seperti sebelum ditetapkan sebagai tersangka,” kata Max Mahare.
Sebelumnya, tim kuasa hukum telah melayangkan surat nomor 46/PBH-PERADI SORONG/XII/2022 perihal penundaan rekonstruksi dan pemeriksaan saksi A de Charge kepada penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Republik Indonesia Daerah Papua Barat, Up AKP Otto Woff, S.H.dan Ipda Intan Baidury Harahap, S.H.
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Sorong Fransiskus Bhabtista yang dikonfirmasi membenarkan adanya permohonan praperadilan yang didaftarkan oleh tim kuasa hukum Ardilah Rahayu Pongoh dan Andi Abdulah Pongoh.