SORONG,sorongraya.co- Menanggapi pernyataan kuasa hukum Hamdani Rumadan di salah satu media yang menyebutkan bahwa seharusnya tujuh orang yang di duga menyebabkan meninggalnya Hamdani Rumadan dikenakan Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP.
Selaku kuasa hukum tersangka, Arfan Poretoka menilai yang disampaikan kuasa hukum Hamdani Rumadan keliru. Atas dasar apa tersangka Derek Agus Yapen, Yeheskiel Warfandu, Markilaus Dimara, Sampari Yakop Korwa, Yeremias Viktor Korwa, Herol Niko Womsiwor dan Egos Kopisi ini dikenakan pasal 338 dan 340 KUHP.
Sementara Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterbitkan Polres Raja Ampat dicantumkan Pasal 170 KUHP dan 351 KUHP. Sampai hari ini pun penyidik pun masih bingung sebab orang yang di duga sebagai pelaku utama belum diketahui.
” Jika kemudian kuasa hukum korban mengatakan bahwa ada upaya untuk menariknya ke masalah adat terkait adanya perencanaan pembunuhan itu sangat sumir,” kata Arfan, Rabu, 12 Oktober 2022.
Arfan menambahkan, kuasa hukum korban juga mengatakan bahwa ada lebih dari 20 orang yang di duga menganiaya korban. Pertanyaannya kenapa yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Raja Ampat hanya 7 orang.
” Penyidik harus konsisten menerapkan pasal dalam kasus ini apakah 170 KUHP ataukah 351 KUHP yang kemudian di juntokan pasal 55 ayat (1), kan belum jelas,” ujarnya.
Arfan menyebut, ada dua Tempat Kejadian Perkara (TKP) terkait dugaan penganiayaan terhadap korban. Inikan berawal dari perayaan HUT partai Demokrat Kabupaten Raja Ampat yang berlangsung di pantai WTC Waisai.
Nah, TKP pertama itu di depan patung lumba-lumba terjadi perkelahian yang melibatkan korban. Salah satu yang telah ditetapkan tersangka ini sudah pulang ke rumah. Korban yang dalam keadaan mabuk ini lepas dari pengamanan polisi kemudian pulang ke rumah mengambil gergaji lalu balik ke TKP patung lumba-lumba.
” Aksi brutal yang dilakukan korban bukan menyasar pada pelaku yang sebenarnya, melainkan orang banyak, di tambah lagi situasi pada saat itu di TKP gelap,” ujar Arfan.
Sangat tidak mungkin ketika penyidik membuat dua kejadian itu menjadi satu rangkaian kasus, lasalnya, locus dan tempusnya berbeda.
Tujuh orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka inikan pada saat kejadian tidak berada di TKP.
” Saya sendiri selaku kuasa hukum bingung atas penetapan klien kami sebagai teraangka. Padahal saksi-sakai yang ada di TKP menyebut bahwa tujuh orang tersebut tidak ada di TKP,” ungkapnya.
Arfan mengaku, perkelahian pertama antara Markilaus dan Yeheskiel melawan teman-teman korban menyebabkan Markilaus dan Yeheskiel mengalami luka di bagian wajah.
Atas dasar apa penyidik polres Raja Ampat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap klien kami.
” Anehnya, surat penangkapan keluar tanggal 13 September 2022 lalu sehari kemudian, tepatnya 14 September 2022 surat penahanannya. Tapi SPDP nya tanggal 12 September 2022,” bebeenya.
Diakui oleh kuasa hukum tujuh tersangka bahwa sampai saat ini pihaknya belum menerima surat penangkapan maupun penahanannya.
Yang terjadi bukanlah masalah antar suku melainkan permasalahan antar person sehingga untuk menjaga agar tidak meluas maka perlu dilakukan penyelesaian keluarga.
” Upaya ini perlu agar dapat meringankan tujuh tersangka jika benar merekalah yang menganiaya hingga sebabkan korban meninggal dunia,” kata Arfan.
Arfan mengingatkan, jika kliennya tidak mengakui itu adalah hak mereka, yang pasti kami memiliki bukti bahwa bukan klien kami pelaku atau tersangkanya.
Bagaimnaa bisa kita menyimpulkan orang tersebut meninggal kalau keluarga korban sendiri tidak mau memberikan izin kepada polisi melakukan autopsi terhadap korban.
” Faktanya hanya visum luar, yang didapati ada luka memar di kepala bagian belakang. Apakah dengan adanya hasil visum itu dapat disimpulkan bahwa korban meninggal karena dianiaya,” ujarnya.