SORONG, sorongraya.co – Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria, menegaskan pentingnya pencegahan dan penegakan hukum yang tegas dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya di Papua Barat Daya, khususnya terkait dana Otonomi Khusus (Otsus).
“Upaya pencegahan kami lakukan semaksimal mungkin. Tapi kalau tidak juga selesai, ya harus ditindak. Sanksinya jelas, dimulai dari kepatuhan ASN. Seperti pada pelaporan LHKPN, jika satu bulan tidak melapor, otomatis tidak bisa masuk ke sistem,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi, Senin 28 Juli 2025.
Terkait dana Otsus, Dian menekankan bahwa pendekatan Papua adalah desentralisasi asimetris. Namun dalam praktiknya, kebijakan di daerah justru kembali ke pola generik, yang menimbulkan kebingungan di masyarakat.
“Dana Otsus diatur khusus oleh pemerintah pusat, tapi ketika masuk APBD malah bercampur. Masyarakat pun bingung, mana dana Otsus itu? Digunakan untuk apa? Tidak ada yang bisa menjelaskan,” katanya.
KPK, lanjutnya, telah mendorong perbaikan tata kelola dana Otsus, termasuk soal pendataan Orang Asli Papua (OAP). “Tadi disebutkan OAP ada 4,2 juta dari total 5,7 juta penduduk Papua. Tapi apakah itu sudah diverifikasi? Kami belum yakin. Mungkin baru Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang memiliki data distrik dan kampung yang cukup rinci,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut juga dibahas maraknya aktivitas illegal logging di wilayah Papua Barat Daya. Menurut Dian, modusnya beragam, mulai dari penggunaan dokumen palsu hingga dukungan dari oknum tertentu yang membuat penindakan sulit dilakukan.
“Kayu-kayu hasil ilegal ini bahkan bisa sampai ke Surabaya. Artinya, sistem pengawasan kita lemah atau ada backing kuat di belakang,” ujarnya.
Sementara itu, mengenai izin tambang di Raja Ampat, Dian mengungkapkan hingga kini surat keputusan (SK) pencabutan belum diterbitkan secara resmi, meskipun telah diumumkan ke publik. Ia menegaskan bahwa tambang di pulau-pulau kecil tidak boleh dibiarkan.
“Saya sepakat dengan Gubernur, bahwa izin baru harus dihentikan dan izin lama dievaluasi ketat. Ada pulau hanya 1 hektare, bahkan 4 hektare, tapi masih juga mau ditambang. Ini tidak masuk akal,” tegasnya.
Terkait pengelolaan keuangan, Dian menyebut masih ada temuan kerugian negara (TGR) di Papua Barat Daya yang belum ditindaklanjuti.
“Dana tahun anggaran 2023 dengan nilai puluhan miliar rupiah belum dipulihkan. Beberapa di antaranya berasal dari anggaran perjalanan dinas yang tidak jelas. Jika tidak dikembalikan dalam 60 hari, akan dibawa ke aparat penegak hukum,” jelasnya.
Ia juga menyoroti proyek pembangunan Kantor Dinas Pendidikan Kota Sorong yang mangkrak sejak 2017.
“Anggarannya Rp7,6 miliar, direncanakan dibangun di Kampung Baru. Tapi sampai sekarang bangunannya belum ada. Saya baru dengar ini, nanti saya tanyakan ke Sekda Kota Sorong, Bapak Rudy Laku,” ujarnya.
Mengakhiri paparannya, Dian mengingatkan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mencegah korupsi.
“Wali kota dan gubernur baru menjabat, masih masa transisi. Tapi jangan sampai Kota Sorong seperti Maluku Utara. Kalau tidak bisa dicegah, saya tak perlu datang lagi ke sini. Urusannya bisa masuk ‘kamar sebelah’,” ujarnya, merujuk pada proses hukum pidana.
Ia juga mengungkapkan bahwa hingga kini masih banyak ASN yang belum melaporkan LHKPN, padahal Kota Sorong dinilai punya potensi besar untuk berkembang.
“Harapan saya, mari kita kerja sama. KPK pun anggarannya terbatas dan akses ke daerah ini tidak mudah. Tapi kami tetap akan catat dan tindak lanjuti satu per satu,”Tutup Dian.