MetroNasional

Dukung Perjuangan Suku Awyu dan Moi Tolak Sawit, Senator Filep Kritik Kebijakan Investasi di Papua

×

Dukung Perjuangan Suku Awyu dan Moi Tolak Sawit, Senator Filep Kritik Kebijakan Investasi di Papua

Sebarkan artikel ini

JAKARTA,sorongraya.co- Perjuangan masyarakat adat Awyu dan masyarakat adat Moi hingga melakukan aksi damai untuk mempertahankan wilayah adatnya di depan Kantor Mahkamah Agung telah menyita perhatian publik.

Seruan “All Eyes on Papua” pun menjadi trending di media sosial dalam beberapa waktu ini dan mendapat banyak dukungan publik.

Masyarakat adat menuntut agar hakim MA yang memeriksa perkara Masyarakat Adat di Tingkat Kasasi dapat mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan melindungi Eksistensi Masyarakat adat.

Terkait hal itu Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma pun angkat bicara.

Menurutnya, sudah lama suku Awyu dan Moi menempuh jalur hukum melawan sawit hingga akhirnya mendatangi MA.

” Apa yang dilakukan Masyarakat Adat Awyu dan Masyarakat Adat Moi merupakan bagian dari perjuangan mengembalikan eksistensi wilayah adat, yang diduga dihilangkan melalui penerbitan Surat Rekomendasi Kelayakan Lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari. Namun, kemudian ditemukan banyak kejanggalan dalam proses peradilan tingkat pertama hingga Kasasi,” jelas Filep Wamafma, Rabu, 5 Juni 2024.

Senator Papua Barat itu berujar bahwa masyarakat berharap, MA tetap tegak lurus terhadap aturan yang berprinsip pada keadilan sebagaimana amanat Pancasila.

Karenanya, penting juga untuk memahami secara sosiologis-historis kekuasaan masyarakat adat atas wilayah adatnya. Hal ini sangat penting dituntaskan untuk memutus konflik akibat investasi.

” Negara harus hadir membela kepentingan rakyat di atas segala kepentingan, harus memerhatikan hak-hak dasar masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan hidup,” ujarnya.

Terkait masalah ini, Filep mengingatkan bahwa eksistensi masyarakat adat telah lebih dulu ada daripada negara yang dalam kerangka teoritis disebut sebagai komunitas awal (gemeinschaft).

Komunitas yang sifatnya natural ini, terbentuk dari ikatan primordial dan sukarela secara vertikal dengan semesta dan horizontal dengan sesamanya.

Dalam keselarasan dengan semesta, masyarakat adat menciptakan struktur dan aturan komunal, yang pada gilirannya melahirkan adanya kepemimpinan lokal/komunal guna melindungi kekayaan komunal bersama, misalnya hutan, tanah, Sumber Daya Alam (SDA).

” Dari sinilah lahir hak ulayat (beschikkingsrecht) sebagai pengejawantahan dari otoritas masyarakat adat atas tanah dan lingkungan hidupnya bahkan pada saat berhadapan dengan negara sekalipun,” beber Filep.

Ia menilai, meskipun negara yang secara sadar hadir setelah masyarakat adat eksis, berupaya melindungi masyarakat adat, melalui Konstitusi Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dimana identitas budaya dari masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, sayangnya konstruksi pasal-pasal tersebut mensyaratkan adanya pengakuan, yaitu sepanjang masih hidup. Inilah sumber awal kelemahan perlindungan terhadap masyarakat adat.

” Meskipun terdapat regulasi lainnya, seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) atau UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Namun, implementasi perlindungannya masih lemah. Terbukti bahwa masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Papua, hingga saat ini masih terus melakukan perlawanan,” katanya.

Filep menyebut, jika konstitusi sudah meletakkan dasar penghormatan dan pengakuan sekaligus perlindungan kepada masyarakat adat, mengapa secara implementatif tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen?

Hemat saya, ada beberapa sebab pokok. Pertama, penerapan kebijakan pembangunan atas nama kepentingan umum yang cenderung abai terhadap masyarakat adat. Di sini solusi konsinyasi seolah dijadikan landasan bagi pengambilalihan lahan masyarakat adat.

Kedua, pengadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat hutan.

Ia lantas menyinggung proyek Food Estate yang digadang-gadang pemerintah akan menjadi lumbung makanan terbesar, namun proyek ini justru menuai banyak kritik keras dari masyarakat luas, terutama para pegiat HAM dan lingkungan hidup.

” Dalam persoalan investasi ini, tentu kami mengingatkan sekaligus menegaskan agar pengalaman Aborigin di Australia dan Indian di Amerika soal alienasi masyarakat lokal (adat) tidak terjadi di Papua ataupun daerah lainnya,” tegas Filep.

Ia menambahkan, ketiga, lemahnya posisi tawar Pemda di hadapan PSN. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bahkan dapat dilangkahi demi mewujudkan PSN yang secara de facto belum sepenuhnya memberikan manfaat bagi masyarakat adat.

Keempat, tidak ada peta jalan yang komprehensif terkait pembangunan masyarakat adat. Kalaupun ada, sifatnya parsial dari kementerian yang berbeda. Hal ini menyebabkan masyarakat adat harus bertahan, survive sendiri.

” Jika tak mampu, mereka akan kalah dan menjadi penonton di wilayah adatnya,” sambung Pace Jas Merah ini.

Berkaca dari hal-hal tersebut, Filep menekankan, seharusnya Pemerintah Pusat tidak membiarkan masyarakat adat sendirian dalam mencari keadilan.

Pasalnya, regulasi terkait investasi seperti lahirnya UU Cipta Kerja terkesan lebih mengakomodir investasi, terutama atas nama PSN.

” Saya berharap, dalam jangka pendek, Menteri ATR, Menteri Investasi segara membentuk tim ad hoc yang bisa menyelesaikan persoalan ini,” ujar Filep.

Lebih lanjut Filep mengatakan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di seluruh Papua harus peduli dan pro aktif pada persoalan yang dihadapi masyarakat adat ini.

Bagaimanapun juga, pemdalah entitas pertama yang mengetahui keberadaan masyarakat adat. Dengan kata lain, pemda harus bertanggung jawab atas persoalan ini,” sebutnya.

Selanjutnya, dalam jangka panjang, perlu ada action plan berupa peta jalan pembangunan masyarakat adat. Hal ini memudahkan dalam pengambilan kebijakan pemerintah, entah terkait PSN maupun pembangunan untuk kepentingan umum.

” Khusus untuk Food Estate, program ini perlu dikaji ulang dan dievaluasi agar tujuan yang diharapkan berupa penciptaan kesejahteraan masyarakat adat, bisa tercapai,” tutupnya.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.