SORONG,sorongraya.co- Proses seleksi Calon Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat Daya di Kabupaten Raja Ampat di duga menyalahi aturan.
” Seleksi calon anggota MRP di Kabupaten Raja Ampat berjalan tidak normal,” kata anggota MRP Kabupaten Raja Ampat, Yulianus Tebu, Minggu, 14 Mei 2023.
Menurutnya, ditemukan sejumlah kejanggalan di dalam proses, dimana tahapan awal yang sudah dilakukan oleh panitia maupun Panwas berjalan sudah tidak normal.
Artinya, ada sosialisasi yang harus disampaikan kepada publik, tidak dilakukan secara baik.
” Masyarakat sudah melakukan tugasnya, dalam arti sebelim mengirim calonnya terlebih dahulu dilakukan musyawarah di tingkat Kampung dan Distrik. Mereka pilih siapa yang menurut mereka itu bisa dipilih. Hanya saja, ketika sampai di tingkat provinsi tidak berjalan baik,” ujar Yulianus Tebu.
Diakuinya bahwa ada beberapa tahapan yang dilewati, misalnya ada yang namanya seleksi atau pemeriksaan berkas setelah itu langsung musyawarah.
” Lazimnya, pemberkasan dulu penetapan barulah musyawarah untuk mencari kesepakatan. Kalau tidak bisa baru voting,” kata Yulianus.
Yulianus menyebut ada aturan-aturan yang sebenarnya tidak boleh dilanggar tapi di langgar.
Menurut anggota aktif MRP ini, untuk menjadi anggota MRP itu tidak boleh terlibat dalam Partai Politik. Kenyataannya, ada tiga kandidat dari Raja Ampat yang statusnya sebagai caleg tapi tetap saja diakomodir.
” Seharusnya, ketika mencalonkan anggota MRP yang bersangkutan mengundurkan diri dari Parpol selama 5 tahun,” ujar Yulianus.
” Jika yang bersangkutan mengundurkan diri 2019, baru 4 tahun, maka mereka tak boleh ditetapkan sebagai peserta atau calon anggota MRP,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan Yulianus, kejanggalan lainnya adalah batasan usia anggota MRP maksimal 60 tahun. Namun, ada peserta yang mengikuti seleksi berusia 62 diloloskan.
” Bagi kami, inikan sesuatu yang namanya cacat hukum. Anehnya, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat maupun Pemerintah Provinsi menganggap bahwa itu keputusan panitia, tidak bisa intervensi,” ungkapnya.
Yulianus mengaku bahwa dirinya memiliki bukti pernyataan itu.
” Saya tidak perlu bilang siapa yang bilang tapi di situ menunjukkan bahwa pemerintah dengan sengaja membiarkan proses yang terjadi. Kalau sudah seperti ini bagaimana nanti kualitas anggota MRP,” tegssnya.
” Siapa suka, siapa bisa mengamankan siapa. Itu yang terjadi di sana sehingga kami berharap, pemerintah provinsi harus bisa mengambil sikap tegas terhadap calon-calon yang secara hukum tidak pantas masuk,” bebernya.
Yulianus berharap, mudah-mudahan pemerintah provinsi punya niat baik untuk memperbaikinya.
Sementara, menurut Chistina Ayello, untuk mengukur kualitas atau kemampuan kita, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada pemaparan visi dan misi yang dipresentasikan oleh para calon juga lembaga masyarakat dan lembaga perempuan yang mengantar kita untuk menjadi calon anggota MPR.
Kedua, setelah pemaparan visi dan misi itu ada musyawarah bersama untuk menentukan 5 nama ini. Kalau itu lembaga perempuan, musyawarahnya dengan lembaga perempuan.
” Kalau itu, musyawarahnya dengan lembaga adat, ini yang tidak terjadi karena saya merasa dirugikan sebab saya punya dokumen berkas itu lengkap, dimusyawarahkan di dua Distrik saya mendapat dua rekomendasi dari dua lembaga perempuan. Terus yang menjadi kekurangan itu apa,” ujarnya.
Diakui Chistina bahwa dirinya mengetahui ada beberapa perempuan yang hari ini datang saja belum punya surat pernyataan dari partai politik. Tapi bagi saya ketika sudah diplenokan.
Tata cara pemilihan MRP, ketika dimusyawarahkan di tingkat distrik juga harus dimusyawarahkan di tingkat kabupaten. ” Yang terjadi di kabupaten Raja Ampat tidak demikian,” kata Christina.
” Kita merasa proses ini tidak sehat, tidak normal. Menurut saya sebagai perempuan Raja Ampat, dari tanah Waigeo ada dua perempuan yang benar-benar tercatat sebagai caleg DPR RI dan caleg dari NasDem,” ujar anggota MRP ini.
Christina menekankan,dua caleg tersebut harus membuat pernyataan di atas materai bahwa benar-benar tidak ada pada partai politik. Inikan menjadi sebuah catatan bagi Kesbangpol dan Polres Raja Ampat sampai kepada Polda,” ucapnya.
” Untuk apa kita saling menipu, kan lembaga yang cukup memberikan ruang untuk setiap orang berpolitik. Tapi kenapa harus menjadi anggota MRP. Dengan demikian, politik sudah dibawa masuk ke ruang adat dan ruang perempuan adat,” tutupnys