MANOKWARI,sorongraya.co– Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari kembali mempertanyakan komitmen Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua hingga jelang akhir tahun 2018 ini.
“Hal ini terkait erat dengan tepat 18 tahun peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat di Wamena 6 Oktober 2000. Dalam peristiwa tersebut diduga 30 orang tewas dan 40 orang mengalami luka2. Namun para terduga pelakunya belum pernah dijerat secara hukum di depan pengadilan yang adil dan fair serta trasnparan. Padahal negara Indonesia sudah memiliki instrumen hukum seperti Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM” tulis Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy,S.H melalui press releasenya yang diteriam sorongraya.co, Sabtu 6 Oktober 2018 malam.
Lanjut Yan, bahkan Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai institusi yang berwenang dalam penegakan hukum HAM di Indonesia telah melakukan investigasi atas peristiwa Wamena berdarah tersebut pada tahun 2003 yang lalu. Namun hingga saat ini berkas perkara hasil penyelidikan Komnas HAM “tertahan” di Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI).
Jadi perkaranya tidak pernah menjalani proses hukum di depan Pengadilan HAM sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2000.
“Sejak jaman Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), kasus-kasus pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua seperti kasus Wamena 6 Oktober 2000, kasus Wasior 2001 dan kasus Paniai 8 Desember 2014 tidak terselesaikan sesuai mekanisme dan prosedur hukum yang diatur dalam aturan perundangan yang berlaku tersebut (UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).” Ujarnya.
Padahal berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetatahuan Indonesia (LIPI) bahwa salah satu akar persoalan di Tanah Papua adalah pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan oleh negara.
Sementara negara Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang memadai, persoalannya terletak pada apakah Presiden Jokowi memiliki kemauan politik (political will) atau tidak untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua.
Sebagai salah seorang advokat dan pembela HAM di Tanah Papua saya mendesak Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan dibentuknya Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua dan Manokwari, Papua Barat sesuai amanat pasal 45 ayat (2) Undang Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang Undang No.35 Tahun 2008.
“Hal ini urgen dan mendesak bagi langkah penegakan hukum dalam konteks penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Sekaligus untuk menghapus citra buruk impunitas dan sorotan dunia internasional terhadap posisi Indonesia sebagai negara “pelanggar HAM” terhadap rakyat sipil di Tanah Papua” tandasnya.[***]