Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Tanah Papua

Aktivis HAM: Presiden Jokowi Harus Beri Ruang Untuk Bahas Akar Masalah di Papua

×

Aktivis HAM: Presiden Jokowi Harus Beri Ruang Untuk Bahas Akar Masalah di Papua

Sebarkan artikel ini
Para aktivis pembela HAM di Papua. Yan Cristian Warinussy, SH (kemeja berdasi) bersama rekan-rekannya
Para aktivis pembela HAM di Papua. Yan Cristian Warinussy, SH (kemeja berdasi) bersama rekan-rekannya

SORONG, sorongraya.co – Kunjungan Presiden RI, Ir Djoko Widodo yang kesekian kalinya ke Kota Sorong, Papua Barat membuat aktivis Pembela HAM di Tanah Papua mengingatkan agar Jokowi memberi ruang dan kesempatan serta waktu untuk mulai membahas “akar masalah” di Tanah Papua.

Aktivis Pembela HAM, Yan Cristian Warinussy mengatakan bahwa akar masalah yang dimaksud sebagaimana digambarkan di dalam Papua Road Map (Peta Jalan Papua) hasil studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tahun 2009, yang menyimpulkan adanya empat akar masalah yang menjadi sumber-sumber konflik di Tanah Papua.

Keempat akar masalah tersebut adalah Pertama masalah marjinalisasi dan efek diskriminasi terhadap Orang ASli Papua (OAP) akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak Tahun 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta dan Keempat, soal pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Tanah Papua.

“LIPI telah memberi tawaran cara penyelesaian atas keempat akar masalah tersebut, yaitu untuk hal pertama adalah dengan kebijakan afirmasi (keberpihakan) sebagai cara untuk pemberdayaan OAP,” ujar Yan kepada sorongraya.co. Rabu 11 April 2018.

Kemudian terhadap hal kedua dapat dilakukan dengan mengembangkan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan OAP di kampung-kampung.

Serta hal ketiga dapat didekati dengan mendorong dialog sebagaimana pernah dilakukan untuk Aceh, dan keempat ditempuh jalan rekonsiliasi diantara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenara demi kepentingan penegakan hukum, dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarga dan warga Indonesia di Tanah Papua secara umum.

Berkenaan dengan itu, langkah Presiden Jokowi dan jajarannya tidak boleh hanya berfokus pada soal pendekatan pembangunan kesejahteraan sebagaimana dicanangkan di dalam Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 semata.

Yaitu lebih pada pendekatan pembangunan infrastruktur demi mempercepat laju pertumbuhan ekonomi semata di Tanah Papua, tetapi harus juga mulai memberi porsi yang adil dan seimbang guna memahami tentang akar soal penting seperti kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.

Menurut Yan Warinussy persoalan ini telah dibahas dan ditetapkan oleh rakyat Papua dalam Kongres Papua II Mei-Juni 2000 di Jayapura sebagai salah satu manifesto mengenai pelurusan sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1963-1969.

Bahkan di dalam pasal 46 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusu Bagi Provinsi Papua telah diatur prosedur dan mekanismenya dengan perlunya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) guna melakukan tugas klarifikasi sejarah itu sendiri.

Oleh sebab itu menurut pandangan peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada ini bahwa Presiden Jokowi sudah harus memulai langkah-langkah politik guna “menyentuh” akar masalah mengenai kontradiksi sejarah integrasi tersebut dalam kunjungannya di awal tahun 2018 ini.

Hal ini dapat dilakukan oleh Presiden dengan mendayagunakan ketiga orang “person in charge” (tokoh kunci) yang sudah ditunjuk resmi pada 15 Agustus 2017 yang lalu yaitu Pater Dr.Neles Tebay, Teten Masduki dan Wiranto.

Ketiga tokoh kunci tersebut dapat dimintai Kepala Negara untuk mulai melakukan langkah-langkah penting dan segera untuk mendekati semua pihak yang merupakan pemangku kepentingan (stakeholder) dalam konteks akar masalah tersebut di Tanah Papua, Jakarta dan dunia internasional guna mempersiapkan dialog konstruktif nasional dalam waktu dekat ini. [red]

[IT_EPOLL_VOTING id="34102"]
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.