SORONG. sorongraya.co – Peraih Penghargaan Internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada, Yan Cristian Warinussy mendesak berbagai negara anggota Dewan HAM PBB membuka mata dan telinga serta memahami adanya dugaan tragedi kemanusiaan pembunuhan etnis Orang Asli Papua (OAP) sebagai penduduk asli yang diakui dunia berdasarkan Deklarasi PBB tahun 2006 Tentang Hak Masyarakat Adat.
Menurutnya, tindakan sistematis dan struktural diduga keras sedang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik melalui pendekatan keamanan dalam menyikapi berbagai tuntutan pelanggaran HAM yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun di Tanah Papua tanpa penyelesaian hukum.
“Serta melalui sejumlah program pembangunan yang dimulai senantiasa dengan politik pemekaran wilayah kabupaten dan provinsi di Tanah Papua yang tidak sama sekali memiliki tujuan untuk mensejahterakan OAP, tapi menjadi sumber konflik perpecahan dan marginalisasi OAP dari sumber daya alam yang dikuasainya seperti tanah, hutan, perairan dan laut sepanjang lebih dari 20 tahun terakhir ini,” kata Yan kepada Media ini, Kamis, 21 September 2017.
Disamping itu, Yan Warinussy yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, mendesak para pemimpin negara-negara di dunia yang akan menyampaikan pidatonya di depan pertemuan Dewan HAM PBB di Jenewa-Swiss agar memberi perhatian dan desakan kuat bagi dilahirkannya resolusi tegas bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di tanah Papua.
“Kunjungan pelapor khusus bidang hak masyarakat pribumi dan pelapor khusus bidang eksekusi extra-judicial ke Tanah Papua menjadi langkah awal penting yang mendesak saat ini untuk diambil oleh Dewan HAM PBB dengan dukungan negara-negara anggotanya tersebut,” ucapnya.
Kesemuanya ini penting dan mendesak untuk dilakukan oleh Dewan HAM PBB di bawah dukungan internasional demi menyelamatkan kepunahan Orang Asli Papua (OAP) sebagai penduduk asli di Tanah Papua sebagai salah satu bagian besar dari generasi ras Melanesia di kawasan Pasifik.
Karena populasi (jumlah jiwa) OAP\ tersebut cenderung telah dan terus mengalami degradasi populasi dari 90, 09 persen di tahun 1971 dan saat ini (2017) telah menurun drasti menjadi 42 persen dari total populasi penduduk di Tanah leluhurnya Papua yang terbagi dalam 2 (dua) wilayah administratif pemerintah (Papua dan Papua Barat).
Menurut pandangan LP3BH bahwa desakan diplomat Solomon Islanda, Barret Salato dalam Sidang Dewan HAM PBB tentang pentingnya Indonesia mengembangkan dialog konstruktif dengan OAP demi menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua kiranya dapat dipandang sebagai sebuah langkah awal yang penting dan mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir.Joko Widodo.
Sehingga harapan besar OAP sebagai masyarakat pribumi dan asli serta berdasarkan hukum adatnya sendiri di Tanah Papua dapat menjadi sebuah komunitas internasional yang dilindungi dan memperoleh keadilan dalam meraih hak dan kebebasannya yang dijamin dalam hukum internasional serta prinsip-prinsip HAM internasional maupun konstitusi Indonesia setingkat UUD 1945.
Lebih lanjut Yan menambahkan, Diplomat tetap Negara Kepulauan Solomon (solomon Island) di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Barret Salato mendesak Pemerintah Indonesia agar melakukan dialog konstruktif dengan Orang Asli Papua (OAP) sebagai bagian dari komunitas internasional demi menyelesaikan berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi terus-menerus dan tanpa penyelesaian hukum di Tanah Papua.
Hal itu ditegaskan diplomat Salato dalam menyampaikan pandangan negaranya pada sesi ke-36 pertemuan ke-18 Dewan HAM PBB (the United Nations Human Rights Council) Selasa (19/9) di Jenewa-Swiss.
Di dalam uraiannya, Salato menegaskan bahwa negaranya mengutuk keras terjadinya tindakan pelanggaran HAM yang diduga keras melibatkan aparat terhadap rakyat asli Papua dengan menunjukkan data terbaru dalam bulan Agustus 2017 lalu.
Dimana sekitar 300 orang aktivis yang terlibat aksi menyampaikan pendapat yang berbeda dengan negara di sejumlah kota di Papua dan Papua Barat serta di beberapa kota besar di Pulau Jawa telah mengalami penyiksaan dan penangkapan serta penahanan secara sewenang-wenang oleh Negara.
Hal ini dipandangnya sebagai bentuk pelanggaran sangat serius terhadap hak kebebasan perpendapat (freedom of opinion) dan hak kebebasan berekspresi (freedom of expression). Sekaligus merupakan bentuk pelanggaran serius pula terhadap hak kebebasan berserikat dan berkumpul (freedom of assembly).
Berkenaan dengan itu, diplomat Solomon Islands tersebut juga mendesak PBB melalui Dewan HAM PBB untuk segera mengirimkan Pelapor Khusus PBB bidang Hak Rakyat Pribumi dan Pelapor Khusus bidang eksekusi extra-judicial untuk berkunjung ke Tanah Papua. [nsr]
Terima kasih komentarnya.