Oleh: Franky Umpain, Direktur Eksekutif Papuan Centre.
SORONG, sorongraya.co – Wacana mengenai format pemilihan kepala daerah atau Pilkada kembali memasuki persimpangan jalan. Di satu sisi, ada desakan kuat untuk terus membenahi sistem pemilihan langsung sebagai buah dari reformasi. Di sisi lain, muncul arus pemikiran yang menginginkan kembalinya pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan dalih efisiensi dan stabilitas.
Namun, di atas perdebatan prosedur tersebut, satu hal yang sering terabaikan adalah bagaimana desain demokrasi kita merespons realitas sosiologis di daerah khusus, terutama Tanah Papua.
Baca: JDP Minta Presiden Prabowo Hentikan Operasi Militer di Papua
Pilkada langsung, yang kita jalankan sejak 2005 sejatinya adalah instrumen untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya. Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap residu yang ditinggalkannya: biaya politik yang selangit, maraknya politik uang, hingga pembelahan sosial di akar rumput.
Mengembalikan pemilihan ke DPRD mungkin tampak sebagai jalan pintas untuk menghemat anggaran. Namun, tanpa pengawasan ketat, sistem ini berisiko membangkitkan kembali oligarki lokal dan menjauhkan rakyat dari kedaulatannya.
Baca juga: Sawit di Papua: Menanam Petaka di Atas Hak Ulayat
Dalam konteks inilah, pemikiran para ahli tata negara seperti Jimly Asshiddiqie mengenai Pilkada Asimetris menemukan relevansinya. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang majemuk, tidak semestinya terjebak pada standardisasi demokrasi yang kaku. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit memerintahkan negara untuk menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus.
Papua adalah laboratorium sekaligus ujian bagi konsistensi kita dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut.
Kekhususan Papua bukan sekadar pemanis dokumen hukum. Ia adalah kebutuhan eksistensial bagi integrasi bangsa. Dalam kerangka Otonomi Khusus atau Otsus, suksesi kepemimpinan di Papua memiliki variabel yang tidak dimiliki daerah lain, yakni kewajiban pemimpin adalah Orang Asli Papua dan adanya peran sentral Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi kultural.
Persoalannya, kekhususan ini sering kali “patah” saat berbenturan dengan regulasi nasional yang bersifat seragam (uniform). Oleh karena itu, diperlukan langkah berani untuk melakukan sinkronisasi paket regulasi politik nasional. UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada, hingga UU MD3 harus didesain agar memiliki “nafas” Otsus.
Revisi terhadap UU MD3, misalnya, menjadi krusial agar DPRD di Papua memiliki kedudukan dan fungsi yang selaras dengan keberadaan MRP dalam proses suksesi. Tanpa integrasi regulasi ini, partai politik akan tetap menggunakan kacamata Jakarta dalam menjaring calon, yang sering kali abai terhadap sensitivitas adat dan hak-hak dasar OAP.
Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh ahli tata negara seperti Saldi Isra, otonomi khusus adalah instrumen keadilan untuk melindungi hak masyarakat lokal sekaligus instrumen rekonsiliasi.
Demokrasi yang bermartabat tidak diukur dari seberapa seragam prosedurnya di seluruh nusantara, melainkan dari seberapa mampu ia memberikan rasa adil bagi warganya.
Di Papua, Pilkada yang “pas” adalah yang mampu meminimalisir konflik horizontal antar-suku dan menjamin bahwa pembangunan dipimpin oleh mereka yang memahami detak jantung rakyatnya
Menata ulang Pilkada adalah kerja panjang merawat keindonesiaan. Kita harus berani menerima kenyataan bahwa di daerah tertentu, demokrasi mungkin memerlukan bentuk yang berbeda demi tujuan yang lebih mulia, Kesejahteraan dan perdamaian.
Baca juga: Sambut Hari Ibu, FJPI Papua Barat Daya Salurkan 100 Paket Sembako
Sudah saatnya kita melihat kekhususan Papua bukan sebagai beban, melainkan sebagai kekayaan cara berdemokrasi yang tetap bernaung di bawah kepak sayap Garuda. (*)
















