SORONG, sorongraya.co – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Cristian Warinussy memberi apresiasi yang tinggi kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo bersama Wakil Presidennya, Drs. H. Mohammad Jusuf Kalla yang telah mengakhiri kerjanya bersama selama lima tahun memimpin bangsa Indonesia.
Menurut Cristain Warinussy, kini saatnya seluruh rakyat Indonesia termasuk di Tanah Papua, khususnya para korban kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat menunggu apa langkah nyata dan terukur yang dapat dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam periode kedua pemerintahannya di tahun 2019-2024 mendatang.
Hal itu akan sangat jelas nampak dari dua moment penting berikut : pertama, saat Jokowi memberi sambutan setelah dia alan dilantik resmi sebagai Presiden RI besok (Minggu, 20/10). Dan kedua, saat dia menetapkan siapa yang bakal menduduki posisi penting sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) serta Jaksa Agung Republik Indonesia.
“Posisi Jaksa Agung adalah relevan dan penting terkait posisi hukum Kejaksaan Agung RI sebagai penyidik dalam tahapan proses penegakan hukum kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat menurut amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang HAM,” kata Yan Cristian kepada sorongraya.co. Sabtu 19 Oktober 2019.
Selain itu juga telah diatur dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM itu sendiri. Karena itu, sekali Presiden “salah menunjuk” orang pada kedua posisi strategis di kabinetnya itu, maka harapan terpenuhinya rasa keadilan dan kepastian hukum para korban dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua kian jauh panggang dari pada api selama lima tahun ke depan.
LP3BH pada akhir September 2019 telah melakukan Focuss Group Disscussion (FGD) bersama para korban dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior tahun 2001. Simpulannya, korban membutuhkan penyelesaian hukum (litigasi/legal) dikedepankan dan memperoleh hasil nyata.
Kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 merupakan dua kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua dan sudah melalui segenap tahapan proses hukum acara menurut UU RI No. 26 Tahun 2000 yang seyogyanya dapat dibawa ke pengadilan HAM.
Sayangnya, pengadilan HAM yang imparsial sesuai amanat pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua belum pernah diinisiasi oleh negara untuk berdiri segera di Tanah Papua.
Tantangan keterpilihan kembali Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council/UNHRC) di Jenewa-Swiss seminggu terakhir ini kiranya menjadi “cemeti” bagi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu dan serius menyelesaikan segera dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Wasior dan Wamena yang sudah mendunia tersebut adalah suatu contoh tidak elok, apabila Indonesia terlibat dalam upaya pemajuan HAM di dunia melalui posisinya dalam UNHRC tersebut dengan menafikan dan atau sengaja tidak menaruk keluar “balok” Wasior dan Wamena di mata negaranya yang kini merupakan salah satu negara demokrasi besar di dunia. [red]