SORONG. sorongraya.co – Benarkah hanya ada satu terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan air bersih pada kantor KKP Kabupaten Raja Ampat tahun 2013 silam.
Padahal di dalam dakwaan jaksa penuntut umum dua orang lainnya diduga turut terlibat. Keduanya adalah inisial SK dan MPU yang saat ini memegang jabatan penting di Pemerintahan Kabupaten Raja Ampat.
Hal inilah yang menjadi tanda tanya besar pengacara Markus Souissa yang saat ini sebagai kuasa hukum terdakwa MLL. Dalam keterangan persnya di Pengadilan Negeri Sorong, Rabu kemarin, Markus Souissa menjelaskan, terkait kasus yang menimpa kliennya (MLL) sebenarnya bukan perkara korupsi melainkan perdata.
Pasalnya, ada kontrak yang mengikat antara kliennya dengan Dinas Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Dan kontraknya sudah selesai ketika proyek yang dikerjakan klien kami selesai.
Yang terjadi saat ini adalah, penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Papua tetap memaksakannya untuk ke persidangan. “Begitu masuk sidang perdana, pihaknya langsung mengajukan keberatan atau eksepsi. Karena terdapat kesalahan kewenangan mengadili,” kata Markus Souissa.
Markus menguraikan bahwa di dalam kontrak pekerjaan tidak disebutkan bahwa PT Metamani dikenakan kewajiban melakukan pemeliharaan setelah pekerjaan selesai. Ketika terjadi kerusakan atas hasil pekerjaan otomatis menjadi tanggung jawab Dinas Perikanan Kabupaten Raja Ampat.
“Sebenarnya dalam kasus ini tidak hanya MLL yang terlibat, dua orang lainnya yaitu yang sekarang memegang jabatan penting di Raja Ampat inisial MPU, saat proyek ini bergulir MPU menjabat sebagai kepala dinas sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen. Kedua adalah SK, sekretaris panitia lelang. Anehnya, sampai saat ini kedua orang tersebut tidak tersentuh hukum,” tutur Markus.
Pihaknya merasa keberatan karena seharusnya kedua orang yang sudah saya sebutkan terlebih dahulu diproses barulah kliennya (MLL). Markus menambahkan, kewajiban klien kami sudah selesai lalu kenapa dipaksakan. Jika minggu depan kasus ini tidak diperhatikan secara baik, tak tangngung-tanggung pihaknya akan menyurat ke Kejaksaan Agung.
“Inikan tebang pilih namanya. Kejaksaan tinggi Papua harus fairlah ketika menangani dugaan korupsi di dinas perikanan kabupaten Raja Ampat. Kami menduga, kedua orang tersebut kemungkinan merupakan otak terjadi dugaan korupsi,” tegas Markus.
Disinggung soal pemeliharaan, Markus mengaku yang menjadi tanggungan kliennya (MLL) adalah perbaikan bangunan, tidak termasuk kerusakan mesin. Jika memang ada alat yang rusak, paling tidak menyurat kepada MLL. Baginya hal ini sama artinya ingkar janji. Lalu dimana letak kerugian negara.
Dalam kasus ini jumlah anggaran proyek sebesar Rp 2.178.000.000. Lalu ada temuan kerugian negara yang jumlahnya diperkirakan Rp 1.177.500.000. Dilain pihak penyidik tidak pernah meminta hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI. Justru yang diperiksa adalah ahli.
Sementara berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2014 menyebutkan bahwa yang berhak secara konstitusional melakukan audit adalah BPK. Di satu sisi BPK boleh menunjuk ahli jika diperlukan.
“Hal itu sah-sah saja, hakim pun bisa berpendapat lain. Artinya, pendapat hakim boleh jadi berbeda dengan jaksa maupun kuasa hukum. Intinya, dasar keberatan kami adalah ini ranah perdata bukan pidana korupsi. Kontraknya kan jelas,” terang Markus Souissa. [jn]