MANOKWARI,sorongraya.co – Katang-katang (Ipomoea pes-caprae) adalah tumbuhan menjalar yang kerap terdapat di pantai berpasir ternyata menjadi ancaman baru untuk reproduksi dan populasi penyu belimbing.
Hal ini sebagaimana disampaikan Fitri Pakiding dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Papua (Unipa), dalam pertemuan program tahunan Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) yang melibatkan berbagai LSM lingkungan yang terlibat di dalam proyek Bird’s Head Seascape (BHS) antara lain, CI Indonesia, WWF Indonesia, The Nature Conservancy (TNC), Rare, Starling Foundation dan Yayasan Kehati di Manokwari, Papua Barat. Senin, (1/4/19).
Menurut Fitri, Katang-katang umum ditemui di pantai tropis termasuk di Indonesia. Terdapat dua sub spesies yang dikenal di Indonesia. Di Tambrauw salah satunya, jenis katang-katang yang hidup disana merupakan subspesies Ipomoea pes-caprae spp atau biasa disebut batatas pantai atau ubi jalar oleh masyarakat setempat karena kedua tanaman tersebut sangat mirip.
Sangat berbahaya terhadap populasi penyu karena ancaman batatas itu berasal dari akar yang menembus pasir dan masuk ke sarang penyu, kemudian membungkus seluruh telur yang mengakibatkan reproduksi penyu di pantai jeen womom di pesisir pantai utara kabupaten tambrauw dan taman pesisir meliputi area pesisir jamursba medi (jeen yessa) terancam.
Dikatakan, katang-katang ini mulai terdeteksi pada akhir tahun 2016 ketika LPPM Unipa melakukan survei penyu di pantai Jeen Womom dan Warmon (Jeen Syuab), yang menjadi satu-satunya lokasi penyu belimbing (Dermochelys coriacea) untuk bertelur.
Sementara itu, peneliti lainnya dari LPPM Unipa, Dessy Lontoh yang secara rutin mengambil dan menganalisis data penyu belimbing di Tambrauw menyatakan, batatas pantai adalah ancaman baru yang serius karena telah menyebabkan hampir seluruh sarang penyu pada satu periode bertelur, gagal melahirkan tukik (anak penyu).
“Akarnya akan menyerap seluruh nutrisi di dalam telur sampai kering kerontang. Hanya sekitar satu persen telur yang bisa menetas, sisanya gagal karena tanaman batatas ini,”ujarnya
Sebagai contoh, saat timnya mengadakan survei menghitung 500 sarang penyu, tetapi hampir semua gagal menetas karena diselimuti oleh batatas. Survei terakhir di tahun 2018 tercatat sekitar 350 sarang penyu, tetapi hanya 200 yang dapat diselamatkan dengan cara membuat sarang relokasi, sedangkan sisanya hanyut terbawa ombak terbelit tanaman tersebut.
Dessy juga mengungkapkan, salah satu penyebab utama meluasnya ancaman batatas itu karena dinamika alami pantai Jeen Womom yang memiliki ombak besar dan air laut tinggi sehingga membuat sebagian pesisir berada di bawah permukaan air. Akibatnya, penyu berusaha mencari tempat bertelur lebih jauh ke arah daratan yang kemungkinan besar menjadi habitat tanaman batatas.
Untuk itu lanjut dia, solusi temporer yang ditempuh ada tiga yaitu, melindungi sarang dengan pelindung seperti kayu dari batang kelapa. Membersihkan batatas di pantai dan membuat sarang relokasi dimana telur yang menetas segera dipindahkan ke tempat lain yang aman. “Dengan cara itu terbukti berhasil cukup baik,”terangnya.
Senada disampaikan Senior Program Manager Papua Barat CI Indonesia, Yance de Fretes bahwa dugaan sementara atas apa yang terjadi karena adanya kompetisi memperebutkan habitat antara dua spesies tersebut akibat terjadinya perubahan lingkungan. ”Harus dilakukan penelitian untuk memastikan penyebab dan menemukan solusi untuk jangka panjang,”tandasnya. [dwi]