SORONG, sorongraya.co – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Cristian Warinussy mendesak Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya untuk segera mewujudnyatakan rencana dialog dengan rakyat Papua dalam waktu dekat ini.
Langkah awal untuk hal tersebut dimulai dengan menarik semua personil Polri dan TNI yang non organik dari seluruh Tanah Papua. Hal ini penting agar rakyat Papua dapat menyongsong perayaan minggu advent dan perayaan Natal dengan Damai dan Tenang.
Menurut aktivis pembela HAM ini, fungsi pengamanan di tanah Papua dapat dipercayakan kepada Kapolda Papua dan Papua Barat serta Panglima Kodam XVII/Cenderawasih dan Panglima Kodam XVIII/Kasuari saja. “Penarikan seluruh pasukan non organik akan menjadi prasyarat penting dimulainya langkah perdamaian di Tanah Papua dan Indonesia,” tutur Yan Cristian kepada sorongraya.co. Jumat 15 November 2019.
Lebih lanjut Yan mengingatkan kepada pemerintah untuk tidak memberi cap-cap separatis, dan atau label negatif pada tanggal 1 Desember yang setiap tahun justru nyata menjadi ajang mendulang dana operasi keamanan yang seringkali meningkat secara signifikan di Tanah Papua.
Pengakuan negara dimaksud tersirat dalam amanat konsideran menimbang huruf e dari UU RI No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Sehingga sesungguhnya segenap aspirasi rakyat Papua yang menginginkan dilaksanakannya referendum ataupun hal penentuan nasib sendiri atau merdeka tidak bisa serta dimusuhi dan dihadapi dengan anarkis oleh negara Indonesia. Bahkan tidak dapat cepat dilabeli kalimat separatis, karena latar belakang sejarah Papua sangat jelas diakui di dalam konteks hukum Negara ini.
“Hal itu lebih jelas diatur pula mekanisme dan prosedur penyelesaiannya secara hukum dalam amanat pasal 46 UU No.21 Tahun 2001 tersebut. Pasal 46 ayat (1) tersebut berbunyi ‘Dalam rangka pemantapan persatuan dsn kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi’,” tutur Yan.
Sehingga menurut hemat Yan bahwa segenap gerakan sosial politik rakyat Papua dengan mengusung aspirasi yang berbeda dengan negara ini sudah semestinya direspon secara soft (lunak), dan diwadahi melalui dialog damai yang melibatkan semua pihak yang selama lebih dari 50 tahun telibat konflik bersenjata serta ide dan kekerasan di Tanah Papua ini. Dialog damai menuju ke terbangunnya rekonsiliasi tidak akan bisa terjadi jika pemerintah Indonesia tidak mau duduk bercakap dengan ULMWP dan OPM.
“Sebaliknya, perdamaian dan jalan menuju penyelesaian politik sulit terwujud jika OPM maupun ULMWP, PNWP, KNPB, WPNA, WPNCL maupun NRFPB dan lainnya tidak mau bertemu dan secara damai berbicara dengan pemerintah Indonesia,” ujar Yan.
Sejarah 1 Desember 1961
Berkenan dengan jelang 1 Desember 2019, Aktivis peraih nobel HAM Dunia ini kembali mengingatkan semua pihak termasuk negara melalui institusi intelijen dan keamanan untuk menahan diri dan tidak saling memprovokasi isu bahwa akan ada kejadian luar biasa di Tanah Papua pada tanggal tersebut.
“Kita belajar dengan baik tentang apa sesungguhnya yang terjadi pada 1 Desember 1961 dan maknanya bagi sejarah Papua saat itu dan kini,” ungkap Yan.
Sesungguhnya pada tanggal 18 November 1961 lanjut Yan, sesudah dilaksanakannya rapat luar biasa Dewan Papua atau Nieuw Guinea raad. Kemudian putusan dewan tersebut mengenai adanya bendera dan lagu kebangsaan Papua ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dr.P.J.Platteel dalam ordonansi-ordonansi.
Rupanya penuntasan masalah perisai lambang masih ditunda menunggu adanya keputusan Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad van Adel) di Den Haag-Belanda. Namun demikian pada tanggal 1 Desember 1961 dilaksanakan pengibaran bendera di kota Hollandia dan ibukota onderafdeling. Dimana hal itu ditulis oleh Prof.P.J.Drooglever dalam bukunya : Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (EEN DAAD VAN VRIJE KEUZE. De Papoea’s westelijk Niew-Guinea en den grenzen van het zelbeschikkingsrecht, 2005 pada halaman 575 “terjadi dalam suasana khidmat dan tenang, dan dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat.”.
Ditekankan oleh Drooglever pula bahwa menerima bendera negeri (Niew-Guinea) ketika itu, bukan bearti pengakuan kedaulatan. Hal ini masih tetap ada pada Belanda, yang harus diungkapkan dalam pemberian tempat penampilan.
Dengan demikian menurut Yan bahwa sesungguhnya hari itu, 1 Desember 1961 belum dapat disebut atau dinyatakan sebagai Hari Kemerdekaan Niew-Guinea, tetapi bahwa sejarah mencatat jika proses kesana sedang dijalankan dan ketika itu Belanda masih berdaulat diatas Tanah Papua.
“Sesungguhnya 1 Desember hendaknya dapat dijadikan sebagai tonggak untuk melakukan upaya-upaya konstruktif dalam konteks pelurusan sejarah Papua oleh rakyat Papua sendiri dan semua pihak termasuk Negara demi perdamaian,” terang Yan Cristian. [red]