MANOKWARI. sorongraya.com – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Cristian Warinussy mengatakan hingga saat ini Pemerintah pusat di level kementerian/lembaga seperti “bingung” menafsirkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang Berat tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Yan menyusul pernyataan Menteri Negara Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, Dalam pertemuan yang berlangsung dengan Presiden RI, Ir. Jokowidodo selama lebih kurang dua jam di Istana Negara pada Selasa (15/08/17) lalu. Dalam pertemuan tersebut, Wiranto menyebutkan kasus di yang terjadi di Deiyai, Provinsi Papua beberapa waktu lalu bukan merupakan pelanggaran HAM yang Berat.
Kata Yan, “Wiranto mengatakan itu kan ada orang tenggelam, kemudian ada yang meminta tolong, tapi gak ditolong lalu marah-marah dan ribut, kemudian datang aparat keamanan Brimob dan ditenangkan tapi tetap ngamuk sudah dikasi tembakan peringatan, tapi nyerang aparat, sehingga ditembak kan? Jadi itu bukan pelanggaran HAM yang Berat.”
Menurut Menko Polhukam soal HAM Berat adalah negara dalam hal ini Presiden memerintahkan aparat untuk menghabisi sekelompok orang tertentu misalnya orang Papua, itu baru namanya pelanggaran HAM yang Berat.
Sebagai seorang Advokat dan Pengacara Hak Asasi Manusia (Human Rights Defenders), Yan Cristian mengatakan bahwa dalam amanat Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sudah disebutkan, “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini.”
Artinya bahwa definisi pelanggaran HAM yang berat adalah definisi yang diatur hanya di dalam Undang Undang Pengadilan HAM ini yaitu Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000, bukan di undang undang lainnya, termasuk pada sebuah pernyataan kosong tak berdasar hukum dari siapapun, termasuk Wiranto sebagai Menko Polhukam sekalipun.
Sebab di dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut disebutkan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a.kejahatan genosida; dan b.kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Di dalam Pasal 8 dijelaskan tentang apa itu kejahatan genosida yang meliputi setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Hal itu dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, pemaksaan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain, dan menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) dijelaskan dalam Pasal 9, yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Tindakan atau perbuatan tersebut berupa pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penghilangan orang secara paksa; kejahatan apartheid; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; dan atau perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
Siapa pelakunya? jelas Negara, karena korban pelanggaran HAM yang berat adalah warga sipil sebagaimana dimaksud di dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Lebih aneh lagi, karena Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang berat tersebut belum sama sekali melakukan investigasi independen dan memperoleh “kesimpulan” sementara ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus seperti di Deiyai dan Pomako-Tembagapura-Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dengan demikian menurut Yan sebagai salah satu Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua yang pernah meraih Penghargaan Internasional “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 bahwa Pemerintah Indonesia, khususnya di jajaran setingkat Menko Polhukam saja masih “bingung” dengan apa itu pelanggaran HAM yang berat ?
Sehingga sulit untuk rakyat Papua sebagai korban-korban pelanggaran HAM di Tanah Papua bakal memperoleh keadilan dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM di dalam Negara Republik ini, karena itu intervensi internasional sangat diharapkan dalam konteks penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua. [red]