SORONG,sorongraya.co- Setelah melewati pemeriksaan panjang, berkas perkara kasus dugaan rudapaksa terhadap anak di bawah umur inisial N (11) akhirnya dinyatakan lengkap atau P21.
Hal tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong yang menangani kasus tersebut, Harlan, setelah melalui proses pemeriksaan panjang sejak berkas pertama kali diterima. Rabu, 19 November 2025.
Harlan menjelaskan, sejak awal pihaknya menemukan banyak kekurangan dalam berkas perkara yang dikirimkan penyidik.
“Dari awal pertama datang, banyak kelengkapan belum lengkap, seperti laporan sosial untuk anak yang belum ada,” ujarnya.
Selain itu, Harlan menyebut berkas juga masih berisi banyak kolom tanda tangan yang belum ditandatangani. Daftar saksi, daftar tersangka, dan daftar barang bukti formil pun belum dicantumkan secara lengkap dalam berkas awal yang diterima kejaksaan.
“Di dalam BAP tersangka, waktu berkas pertama datang dia masih berstatus sebagai terlapor. Di badan berkas belum termuat pemberian hak-hak tersangka, termasuk pendampingan Hukum,”jelasnya.
Harlan menegaskan bahwa sangkaan dalam perkara ini mengacu pada pasal 81 dan 82 terkait tindak pidana seksual terhadap anak. Korban sendiri diketahui berstatus sebagai anak angkat. Identitas ibu yang tercantum dalam berkas ternyata hanya berdasarkan Kartu Keluarga, sedangkan ibu kandung korban berada di Jawa.
Tindak pidana tersebut disebut terjadi sejak 2023 hingga pada 2025 berdasarkan hasil penyidikan. Karena rentang waktu yang panjang, Jaksa menilai diperlukan pembuktian kuat untuk menguatkan konstruksi perkara.
“Untuk membuktikan itu kita perlu alat bukti yang mendukung. Saat berkas awal datang, kami coba koordinasi. Prosesnya agak lambat karena banyak kelengkapan tambahan yang harus dipenuhi. Sejak awal saya teliti betul dari sisi formil dan materiil,”ujar Harlan.
Meski saat ini berkas telah lengkap dan dinyatakan P21, ia mengungkapkan bahwa barang bukti yang tersedia masih didominasi keterangan atau testimoni.
“Keterangan dalam berkas itu hanya berupa dengar dari beberapa pihak selain dari keterangan anak. Karena itu kami butuh alat bukti pendukung seperti visum,” katanya.
“Kalau membantah visum, misalnya ada penjelasan lebih dari satu kali kejadian, harus ada luka multiple (dampak). Sementara dalam visum tidak ada kelainan. Ahli juga mengatakan tidak bisa memastikan penyebab luka. Itu ada dalam BAP ahli. Karena itu kami butuh menanyakan lagi pada anak, aktivitas apa saja yang dilakukan setahun terakhir,”sambungnya.
Menurut Harlan, langkah tersebut diperlukan agar pembuktian tidak lemah dan tidak menjadi celah bagi tersangka untuk lolos.
“Kita ingin fondasi pembuktian yang benar-benar kuat sebelum disajikan di persidangan,” tegasnya.
Terkait keberadaan korban saat ini, Harlan menyebut hal itu berada di luar ranah kejaksaan. Namun ia meyakini peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat penting mengingat korban masih di bawah umur dan memiliki orang tua kandung di Jawa serta orang tua angkat yang merawatnya sejak kecil.
“Itu sudah jauh dari ranah saya. Kami percaya pada penyidik. Tapi tentu saja anak perlu peran LPSK untuk masa depannya. Saya sempat bertemu anak kemarin, hanya ingin tahu apa sebenarnya keinginan anak,” ungkapnya.
Dengan berkas yang kini dinyatakan lengkap, kejaksaan dijadwalkan melaksanakan tahap dua, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti, pada minggu depan.
“Sekarang sudah P21. Selanjutnya kami masuk tahap dua minggu depan. Sudah dijadwalkan,” tutup Harlan.














