BeritaTanah Papua

Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus

×

Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus

Sebarkan artikel ini

SORONG,sorongraya.co-Institut USBA menyampaikan kritik keras atas dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110P Tahun 2025 tentang pengangkatan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang dilantik pada Rabu, 8 Oktober 2025 di Istana Negara, Jakarta.

Komite yang diketuai oleh Velix Wanggai ini dinilai tidak memiliki dasar hukum dan arah kelembagaan yang jelas dalam kerangka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

Menurut Charles Adrian Michael Imbir, Direktur Institut USBA, langkah pemerintah membentuk struktur baru di luar mandat UU Otsus menunjukkan anomali kelembagaan dan kebingungan arah politik pembangunan Papua.

“Pemerintah telah melangkah keluar dari pagar hukum. UU Otsus Papua secara tegas hanya memberi mandat pada pembentukan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) di bawah Wakil Presiden. Tidak ada satu pun klausul yang membuka ruang bagi pembentukan Komite Eksekutif paralel. Ini bukan sekadar persoalan nomenklatur, tetapi menyangkut legitimasi, akuntabilitas, dan arah politik kebijakan publik di Tanah Papua,” tegas Imbir.

Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2021 Untuk menilai Keppres 110P/2025 secara objektif, perlu dipahami konteks hukum dan institusionalnya. UU Nomor 2 Tahun 2021 adalah perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 yang memperkuat skema Otonomi Khusus Papua, termasuk mandat pembentukan BP3OKP sebagai lembaga koordinatif untuk sinkronisasi kebijakan, harmonisasi peraturan, evaluasi pelaksanaan, dan koordinasi pembangunan di Tanah Papua.

Sementara itu, Keppres Nomor 110P Tahun 2025 membentuk Komite Percepatan Pembangunan Otsus Papua yang berpotensi menjalankan fungsi serupa dengan BP3OKP, sehingga menciptakan tumpang tindih kelembagaan dan kebingungan hierarkis dalam tata kelola Otsus.

Pembentukan Komite baru ini menimbulkan risiko duplikasi dan inefisiensi karena BP3OKP sudah memiliki mandat hukum yang lengkap.

Dampak yang berpotensi muncul antara lain:
Birokrasi kompleks, karena dua lembaga dengan tujuan serupa memperlambat koordinasi;
Inefisiensi sumber daya, akibat tumpang tindih anggaran dan program Konflik kewenangan, karena tidak ada kejelasan pembagian fungsi antara Komite Eksekutif dan BP3OKP serta Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur dan Bupati sebagai eksekutif.

“Kelembagaan Otsus kini menjadi seperti rumah dengan banyak pintu, tapi tanpa peta. Tiap pemerintahan datang dengan papan nama baru, sementara fondasi tetap rapuh,” ujar Imbir.

Sentralisasi Kekuasaan di Balik Narasi Percepatan
Dari perspektif politik, pembentukan Komite Eksekutif mencerminkan sentralisasi baru di bawah wajah birokrasi modern, bukan desentralisasi substantif sebagaimana amanat Otsus. Semua proses pembentukan dan pelantikan berlangsung di Jakarta, tanpa partisipasi masyarakat adat maupun representasi daerah.Padahal, semangat Otsus Papua adalah self-governance, yakni menempatkan Orang Asli Papua (OAP) sebagai subjek pembangunan, bukan objek administratif.

Penerbitan Keppres yang membentuk komite baru untuk percepatan pembangunan Otsus juga dapat dilihat sebagai langkah sentralisasi kekuasaan. Langkah ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat tidak mempercayai efektivitas BP3OKP, dan berpotensi melemahkan otonomi khusus itu sendiri.

“Papua tidak membutuhkan lebih banyak meja di Istana, tetapi ruang keputusan di tanahnya sendiri. Komite ini menandakan pemerintah masih memandang Papua sebagai objek pengelolaan, bukan wilayah politik yang memiliki hak menentukan masa depannya,” tambah Imbir.

Secara hukum tata negara, Keppres 110P/2025 menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan. Pembentukan lembaga baru di luar UU Otsus dan tanpa revisi terhadap Perpres sebelumnya adalah bentuk ketidaktaatan terhadap prinsip hukum positif.
Hal ini menciptakan

Preseden buruk bagi sistem kelembagaan nasional;
Inkonsistensi kebijakan publik;
Risiko kebocoran fiskal dan lemahnya pengawasan pembangunan.

“Setiap kali struktur baru lahir tanpa refleksi kritis atas kinerja yang lama, maka pembangunan hanya menjadi siklus administratif tanpa substansi transformasi sosial,” ungkap Imbir.

Relevansi terhadap Amanat UU Otonomi Khusus
Keppres 110P/2025 perlu diuji terhadap semangat dan amanat UU No. 2 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa pelaksana utama Otsus adalah BP3OKP. Jika Komite baru dibentuk karena BP3OKP dianggap belum efektif, maka langkah perbaikan internal seharusnya diutamakan daripada membentuk lembaga baru yang justru memperkeruh sistem koordinasi.

Pemerintah seharusnya menilai efektivitas kebijakan berdasarkan kesejahteraan masyarakat Papua, bukan pada seberapa banyak lembaga yang dibentuk. Setiap inisiatif baru harus terbukti memberikan dampak nyata bagi rakyat Papua, bukan sekadar menambah lapisan birokrasi.

Kritik Substansi dan Orientasi Kebijakan
Institut USBA menilai bahwa akar masalah pembangunan Papua tidak terletak pada kurangnya lembaga, tetapi pada ketimpangan ekonomi, ketidakadilan fiskal, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.

Kebijakan percepatan yang hanya diukur melalui proyek infrastruktur dan investasi tanpa memperhatikan dimensi sosial, budaya, dan ekologis akan terus melahirkan pembangunan tanpa manusia, bukan pembangunan untuk manusia.

“Masalah Papua tidak akan selesai dengan menambah nama lembaga baru. Yang dibutuhkan adalah koreksi terhadap desain pembangunan yang gagal memahami akar masalah,” tegas Imbir.

Rekomendasi Institut USBA
Cabut Keppres No. 110P/2025.
Keppres ini bertentangan dengan semangat dan arsitektur hukum Otsus. Pemerintah harus menghentikan semua pembentukan lembaga baru di luar mandat UU hingga ada evaluasi publik yang independen.

Revisi UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

Revisi perlu memastikan BP3OKP berada langsung di bawah Presiden agar memiliki otoritas kuat dan independen, serta menghindari tumpang tindih kelembagaan.
Lakukan Audit Politik dan Kelembagaan terhadap BP3OKP.

Audit tidak hanya administratif, tetapi juga harus mencakup legitimasi sosial dan politik untuk memastikan representasi dan kepentingan Orang Asli Papua (OAP) benar-benar terakomodasi dan terartikulasi.

BP3OKP Harus Melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Musyawarah Besar Adat Papua. Ini penting agar pengawasan dan arah kebijakan mencerminkan aspirasi masyarakat adat Papua secara autentik.

Hentikan Pola Sentralisasi Berkedok Percepatan.
Pemerintah harus menyerahkan sebagian besar kebijakan pembangunan Papua ke tangan pemerintah daerah, lembaga adat, dan akademisi lokal.

Bangun Dewan Rakyat Papua Independen.
Sebagai mekanisme partisipasi alternatif yang beranggotakan tokoh adat, agama, perempuan, pemuda, dan akademisi untuk mengawasi pelaksanaan program Otsus.

Prioritaskan Keadilan Fiskal dan Ekologis di Atas Pembentukan Birokrasi Baru.
Fokus pembangunan harus diarahkan pada redistribusi dana Otsus yang adil, perlindungan kawasan adat, dan pengakuan hak ulayat masyarakat Papua.

“Keadilan bagi Papua tidak diukur dari seberapa banyak embaga dibentuk, tetapi dari seberapa besar rakyat Papua dipercaya untuk menentukan arah hidupnya sendiri,” tutup Charles Imbir, Direktur Institut USBA. (***)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.