SORONG, sorongraya.co – Puluhan orang tua siswa mendatangi Kantor Wali Kota Sorong pada Senin, 30 Juni 2025, untuk menyampaikan aspirasi terkait anak-anak mereka yang tidak lolos dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMA Negeri 3 dan SMP Negeri 6 Kota Sorong.
Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap sistem seleksi yang dianggap tidak transparan dan merugikan sejumlah calon siswa, terutama anak-anak asli Papua (OAP).
Wali Kota Sorong menyampaikan bahwa pemerintah siap mencari jalan keluar atas permasalahan ini. Menurutnya, masyarakat antusias terhadap program sekolah gratis yang kini diterapkan dari tingkat SD, SMP, hingga SMA.
“Saya minta dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Kalau ada kelebihan siswa, kami akan arahkan ke sekolah swasta yang biayanya tetap kami gratiskan. Bahkan kalau perlu, kami buka sekolah baru untuk mengakomodir anak-anak yang belum tertampung,” jelasnya.
Wali Kota juga menekankan bahwa program pendidikan gratis ini merupakan komitmen pemerintah daerah untuk meringankan beban masyarakat.
“Demo yang dilakukan hari ini saya anggap sebagai bentuk antusiasme, bukan perlawanan. Ini menunjukkan masyarakat sangat peduli dengan masa depan pendidikan anak-anaknya,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 3 Kota Sorong, Natali Lapik, menjelaskan bahwa proses seleksi PPDB tahun ini mengacu pada empat jalur yang ditetapkan oleh sistem yakni jalur domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi.
Menurutnya, istilah zonasi kini diganti menjadi domisili, di mana seluruh calon siswa yang berada dalam radius yang sama memiliki peluang yang setara.
“Karena memiliki hak yang sama, maka dilakukan tes seleksi. Untuk jalur domisili, kami prioritaskan 60 persen bagi anak-anak OAP, dan 40 persen non-OAP. Bahkan, nilai ambang batas juga dibedakan. Non-OAP harus memperoleh nilai minimal 40, sedangkan OAP cukup dengan nilai 20 untuk lolos,” jelas Natali.
Untuk jalur prestasi, lanjutnya, seleksi dilakukan berdasarkan sertifikat kejuaraan dan nilai tes. Sertifikat tingkat nasional diberi bobot nilai tertinggi, diikuti tingkat provinsi dan kota. Nilai sertifikat ini digabungkan dengan nilai tes dalam menentukan kelulusan.
Jalur afirmasi diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus dan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sementara jalur mutasi ditujukan bagi anak dari orang tua yang pindah tugas atau bekerja di lingkungan sekolah.
Natali mengaku, pihak sekolah sempat kewalahan karena jumlah pendaftar yang membludak, mencapai lebih dari 1.200 orang, sementara daya tampung sekolah hanya 456 siswa, sesuai kuota yang ditetapkan Dapodik.
“Karena itu kami lakukan seleksi berkas terlebih dahulu. Berkas yang tidak memenuhi syarat langsung kami gugurkan. Hal ini juga untuk menjaga validitas data saat proses belajar nanti,” ungkapnya.
“Ada yang klaim nilai anaknya 58, tapi setelah dicek ternyata hanya 28. Ini bukti sistem kami berjalan objektif,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Natali menyampaikan bahwa pihaknya tidak bisa menerima siswa di luar kuota karena bisa berdampak serius terhadap sistem data sekolah, tunjangan sertifikasi guru, dan pencairan dana BOS.
“Namun kami bersyukur karena Wali Kota Sorong telah memberikan perhatian serius dan mencari solusi terbaik,” tambahnya.