Hukum & KriminalMetroTanah Papua

Sengketa Lahan Bendungan Ayamaru, Ini Pesan Kuasa Hukum 3 Marga

×

Sengketa Lahan Bendungan Ayamaru, Ini Pesan Kuasa Hukum 3 Marga

Sebarkan artikel ini

SORONG,sorongraya.co-Kuasa hukum 3 marga Ijie Fan menegaskan agar seluruh pihak menahan diri dan tidak melakukan tindakan di luar hukum dalam menyikapi sengketa hak ulayat terkait pembangunan Bendungan Ayamaru Tahap II di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Penegasan ini disampaikan menyusul proses somasi yang sebelumnya dilayangkan kepada sejumlah pihak terkait.

Kuasa Hukum Ijie Fan, Urbanus Mamu, mengatakan pihaknya mengapresiasi respons positif dari Balai Wilayah Sungai, Kementerian Pekerjaan Umum atas somasi yang telah disampaikan. Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan adanya itikad baik untuk menyelesaikan persoalan secara hukum dan beradab.

“Pertama kami mengucapkan terima kasih kepada Balai Wilayah Sungai Kementerian PU karena somasi yang kami layangkan direspons secara positif. Ini langkah awal yang baik,”ujar Urbanus kepada awak media. Sabtu, 13 Desember 2025.

Selain itu, tim kuasa hukum juga telah menyampaikan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kapolda Papua Barat Daya, serta menyurati Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, DPR Papua Barat Daya, dan Gubernur Papua Barat Daya.

Menurut Urbanus, persoalan hak ulayat tidak hanya soal hukum positif, tetapi juga menyangkut aspek adat dan otonomi khusus Papua.

“MRP sebagai lembaga kultur dan representasi orang asli Papua harus hadir dan berperan aktif dalam persoalan seperti ini. Begitu juga DPR Otsus yang memiliki mandat untuk memperjuangkan hak-hak orang asli Papua,”jelasnya.

Terkait pemerintah daerah, Urbanus menegaskan kliennya tidak memiliki niat untuk menghambat pembangunan Bendungan Ayamaru. Namun, ia mengingatkan agar seluruh proses pembangunan dan penggunaan keuangan negara dilakukan sesuai aturan hukum.

“Ini wilayah Papua Barat Daya, sehingga menjadi tanggung jawab gubernur. Klien kami mendukung pembangunan, tetapi tata kelola keuangan negara dan hak ulayat harus diatur dengan baik agar tidak menimbulkan masalah hukum,”katanya.

Urbanus juga menyebut pihaknya telah menerima respons positif dari Kejaksaan Agung RI. Ia berharap persoalan sengketa hak ulayat ini dapat diselesaikan melalui musyawarah.

“Kalau ada pihak lain yang mengklaim tanah tersebut, silakan duduk bersama dan masing-masing menunjukkan bukti. Dengan cara itu, sehingga kebenaran akan terungkap,”ujarnya.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa jika musyawarah tidak menemukan titik temu, maka penyelesaian akan ditempuh melalui jalur hukum.

Urbanus juga mengingatkan agar tidak ada tindakan sepihak di lapangan yang bertentangan dengan hukum.

“Negara ini negara hukum. Hukum harus menjadi panglima. Jika ada tindakan di luar hukum, itu akan menjadi persoalan baru dan kami pastikan akan mengambil langkah hukum,”tegasnya.

Pemberitaan sebelumnya, kuasa hukum marga Ijie Fan melayangkan somasi kepada 16 pihak, mulai dari kementerian, lembaga negara, hingga pemerintah daerah, terkait proses ganti rugi tanah pembangunan Bendungan Ayamaru Tahap II yang diduga dilakukan tanpa melibatkan pemilik ulayat sah. Somasi tersebut menegaskan bahwa proyek bendungan dibangun di atas tanah komunal tiga marga pemilik ulayat yang belum menerima pemberitahuan maupun kompensasi sesuai ketentuan.

Urbanus Mamu, yang didampingi rekannya Rifal Kasim Pari dan Apner W.A. Asmuruf, menyebut somasi tersebut didasarkan pada surat kuasa khusus tertanggal 4 Desember 2025. Ia menegaskan bahwa tanah lokasi Bendungan Ayamaru, baik tahap pertama maupun rencana tahap kedua, merupakan tanah komunal milik marga IJIE FAN ATTA, IJIE FAN SRIR, dan IJIE FAN AYA yang dikuasai secara turun-temurun.

“Tanah ini tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan seluruh pemilik ulayat. Sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut bukan pemilik ulayat, melainkan menempati tanah karena hubungan perkawinan atau kekerabatan,”jelasnya.

Meski mendukung pembangunan bendungan, pihak pemilik ulayat menyesalkan karena hingga kini belum pernah dilibatkan dalam proses ganti rugi. Oleh karena itu, mereka menuntut ganti rugi tanah serta kompensasi atas dampak proyek sebagaimana diatur dalam PP Nomor 39 Tahun 2023 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Urbanus menambahkan, somasi tersebut memberikan tenggat waktu 3 x 24 jam untuk mendapat tanggapan resmi. Jika tidak ada respons, pihaknya siap menempuh langkah hukum, termasuk melaporkan persoalan ini kepada aparat penegak hukum.

“Permohonan perlindungan hukum ke Kapolda Papua Barat Daya kami ajukan agar proses pendataan dan penyelesaian sengketa berjalan transparan, adil, dan tidak memicu gesekan sosial,”pungkasnya.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.