SORONG,sorong– Pemerintah diminta berlaku adil atas hak masyarakat adat Suku IMMEKKO yang selama puluhan tahun tidak pernah menerima hak-hak masyarakat adat atas dugaan eksplorasi dan produksi gas alam di wilayah adat mereka. Padahal, menurut estimasi teknis, wilayah itu mengandung cadangan gas terbukti hingga 10,3 triliun kaki kubik (Tcf), dan bahkan diperkirakan bisa mencapai 12,4 Tcf.
“Eksplorasi aktif dilakukan sejak 1982 sampai 1984, dan produksi dimulai sejak 2008 hingga sekarang. Tapi masyarakat adat tidak pernah menerima hak adat sesuai. Bahkan SK senilai Rp60 miliar hanya sebagian kecil yang terealisasi,” ujar Silfester Stevanus Aimar, Koordinator masyarakat adat IMMEKKO.
Ia menyoroti perubahan peta blok dari versi eksplorasi ke produksi yang menggeser lokasi kegiatan utama ke laut. Langkah ini dinilai disengaja untuk menyingkirkan pengakuan hukum terhadap wilayah adat sebagai daerah penghasil gas.
Dalam dokumen Amdal yang digunakan BP Berau Ltd untuk Proyek Tangguh LNG, wilayah adat Inanwatan, Metemani, Kais, dan Kokoda hanya dikategorikan sebagai daerah terdampak ekonomi tak langsung, bukan sebagai daerah terdampak langsung. Padahal, kegiatan eksplorasi dan temuan cadangan awal dilakukan di atas tanah adat mereka.
“Kami tidak bisa terima wilayah kami disebut hanya terdampak ekonomi. Tanah kami yang pertama dibor,” tegas Aimar.
@berita_sorongraya.co Pemerintah diminta berlaku adil atas hak masyarakat adat Suku IMMEKKO yang selama puluhan tahun tidak pernah menerima hak-hak masyarakat adat atas dugaan eksplorasi dan produksi gas alam di wilayah adat mereka. Padahal, menurut estimasi teknis, wilayah itu mengandung cadangan gas terbukti hingga 10,3 triliun kaki kubik (Tcf), dan bahkan diperkirakan bisa mencapai 12,4 Tcf. “Eksplorasi aktif dilakukan sejak 1982 sampai 1984, dan produksi dimulai sejak 2008 hingga sekarang. Tapi masyarakat adat tidak pernah menerima hak adat sesuai. Bahkan SK senilai Rp60 miliar hanya sebagian kecil yang terealisasi,” ujar Silfester Stevanus Aimar, Koordinator masyarakat adat IMMEKKO. Ia menyoroti perubahan peta blok dari versi eksplorasi ke produksi yang menggeser lokasi kegiatan utama ke laut. Langkah ini dinilai disengaja untuk menyingkirkan pengakuan hukum terhadap wilayah adat sebagai daerah penghasil gas. Dalam dokumen Amdal yang digunakan BP Berau Ltd untuk Proyek Tangguh LNG, wilayah adat Inanwatan, Metemani, Kais, dan Kokoda hanya dikategorikan sebagai daerah terdampak ekonomi tak langsung, bukan sebagai daerah terdampak langsung. Padahal, kegiatan eksplorasi dan temuan cadangan awal dilakukan di atas tanah adat mereka. “Kami tidak bisa terima wilayah kami disebut hanya terdampak ekonomi. Tanah kami yang pertama dibor,” tegas Aimar. Sebelumnya, sejumlah perusahaan migas besar seperti Conoco Indonesia Inc, Arco Indonesia Inc, hingga Pertamina telah melakukan pengeboran dan eksplorasi awal berdasarkan peta seismik yang mencakup wilayah darat dan perairan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan. Sumur Tarof-02 bahkan menjadi bukti adanya cadangan gas besar di area tersebut. Peta tersebut kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan dokumen Amdal dan kerangka proyek Tangguh LNG yang dikerjakan BP Berau Ltd. Cadangan gas di Blok Wilayah Kerja (WK) Migas 08 yang menyebar di Teluk Bintuni dan wilayah adat IMMEKKO juga sempat digunakan untuk menjaminkan pembiayaan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Menurutnya, eksplorasi dilakukan tanpa persetujuan pemilik hak ulayat dan tanpa adanya kompensasi. Mereka merasa diabaikan selama lebih dari empat dekade meski wilayah adat mereka menjadi titik awal eksplorasi dan pengeboran. “Kami pemilik tanah, tapi sejak awal tak pernah dilibatkan atau dihargai. Pemerintah dan SKK Migas harus bertanggung jawab,” tegas Aimar. Kini, masyarakat adat IMEKKO mendesak pemerintah dan SKK Migas segera membayar ganti rugi, serta mengakui wilayah adat mereka sebagai daerah terdampak langsung. Mereka ingin kejelasan dan keadilan atas hak-hak yang selama ini terpinggirkan. “Kami berharap pemerintah serius menyikapi persoalan ini demi kesejahteraan masyarakat Papua Barat Daya sebagai daerah penghasil Migas,” ujar Arfan Poretoka, tim kuasa hukum masyarakat adat IMMEKKO. #fypシ #kotasorong #papuabaratdaya #indonesia #fyp ♬ suara asli – Berita Sorongraya.co
Sebelumnya, sejumlah perusahaan migas besar seperti Conoco Indonesia Inc, Arco Indonesia Inc, hingga Pertamina telah melakukan pengeboran dan eksplorasi awal berdasarkan peta seismik yang mencakup wilayah darat dan perairan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan. Sumur Tarof-02 bahkan menjadi bukti adanya cadangan gas besar di area tersebut.
Peta tersebut kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan dokumen Amdal dan kerangka proyek Tangguh LNG yang dikerjakan BP Berau Ltd. Cadangan gas di Blok Wilayah Kerja (WK) Migas 08 yang menyebar di Teluk Bintuni dan wilayah adat IMMEKKO juga sempat digunakan untuk menjaminkan pembiayaan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Menurutnya, eksplorasi dilakukan tanpa persetujuan pemilik hak ulayat dan tanpa adanya kompensasi. Mereka merasa diabaikan selama lebih dari empat dekade meski wilayah adat mereka menjadi titik awal eksplorasi dan pengeboran.
“Kami pemilik tanah, tapi sejak awal tak pernah dilibatkan atau dihargai. Pemerintah dan SKK Migas harus bertanggung jawab,” tegas Aimar.
Kini, masyarakat adat IMEKKO mendesak pemerintah dan SKK Migas segera membayar ganti rugi, serta mengakui wilayah adat mereka sebagai daerah terdampak langsung. Mereka ingin kejelasan dan keadilan atas hak-hak yang selama ini terpinggirkan.
“Kami berharap pemerintah serius menyikapi persoalan ini demi kesejahteraan masyarakat Papua Barat Daya sebagai daerah penghasil Migas,” ujar Arfan Poretoka, tim kuasa hukum masyarakat adat IMMEKKO.