SORONG, sorongraya.co – Masyarakat adat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, menyampaikan kekecewaan atas keputusan pemerintah yang tidak mengakui seluruh wilayah hutan adat mereka. Keputusan ini disampaikan oleh Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam acara Final Expose Hasil Verifikasi Tim Terpadu Usulan Hutan Adat Sorong Selatan, yang digelar secara hybrid dari Jakarta.
Kelompok masyarakat adat Distrik Konda turut menyaksikan acara ini secara daring. Dalam paparan tersebut, Tim Terpadu menyebutkan bahwa dari total 95.038,76 hektare lahan yang diusulkan dan telah mendapatkan Surat Keputusan Bupati, hanya 42.771 hektare di tiga distrik yang direkomendasikan sebagai hutan adat. Distrik Konda termasuk di antaranya.
Selama lebih dari tiga tahun, Konservasi Indonesia (KI) telah mendampingi masyarakat adat Distrik Konda, khususnya empat sub-suku: Nakna, Gemna, Afsya, dan Yaben, untuk mengajukan pengakuan atas 41.111,81 hektare hutan adat mereka. Namun hasil verifikasi Tim Terpadu hanya merekomendasikan 19.838 hektare atau 48,25 persen dari total yang diajukan.
Nikolas Mondar, perwakilan masyarakat adat dari empat sub-suku tersebut, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut. Ia menilai pengurangan luasan wilayah adat sangat merugikan karena kawasan yang tidak diakui merupakan ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat secara turun-temurun.
“Kami, masyarakat adat dari empat sub-suku di Distrik Konda, menyesalkan hasil rekomendasi tim terpadu. Bagi kami, wilayah yang kini masuk dalam konsesi adalah tanah leluhur yang menjadi sumber kehidupan dan identitas budaya. Kami akan terus memperjuangkan pengakuan penuh atas wilayah adat ini, demi keberlangsungan generasi kami,” ujar Nikolas.
Sejak 2022, Konservasi Indonesia telah aktif mendampingi proses pengakuan hutan adat, mulai dari pemetaan partisipatif, pengumpulan data, workshop, pengusulan hutan adat, verifikasi lapangan, pelatihan patroli hutan, hingga penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) dan pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA).
Papua Program Director Konservasi Indonesia, Roberth Mandosir, mengapresiasi keputusan pemerintah namun menegaskan komitmen KI untuk terus mendampingi masyarakat adat di Distrik Konda.
“Meski hasilnya belum sesuai harapan, kami tetap mendampingi masyarakat Konda dalam perjuangan memperoleh pengakuan penuh atas hak kelola hutan adat. Ini adalah bagian dari penghormatan terhadap kearifan lokal dan upaya menjaga keberlanjutan lingkungan,” ujar Roberth.
Ia menambahkan, bagi masyarakat adat Konda, hutan bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga sumber pangan, pengetahuan, dan nilai budaya yang diwariskan lintas generasi.
“Berbeda dengan masyarakat agraris, masyarakat di sini bergantung pada hutan untuk berburu dan meramu,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Penetapan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Prasetyo Nugroho, menjelaskan bahwa pengurangan luasan terjadi karena sebagian wilayah yang diusulkan berada dalam kawasan konsesi yang secara hukum tidak dapat ditetapkan sebagai hutan adat.
“Data kami menunjukkan sebagian wilayah yang diusulkan masuk dalam konsesi, sehingga tidak bisa ditetapkan sebagai hutan adat. Meski begitu, pengakuan sebagian wilayah ini tetap menjadi langkah penting untuk memperjelas hak masyarakat adat serta memperkuat perlindungan ekosistem dan budaya lokal,” jelas Prasetyo.