MetroTanah Papua

4 Sub Suku Adat Tuntut Keadilan atas HGU 14 Ribu Hektare di Tanah Ulayat

×

4 Sub Suku Adat Tuntut Keadilan atas HGU 14 Ribu Hektare di Tanah Ulayat

Sebarkan artikel ini

SORONG, sorongraya.co- Masyarakat adat dari Suku Gemna, Nakna, Afsya, dan Yaben bersama pemerintah kampung se-Distrik Konda menggelar aksi damai di lingkungan kantor Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanahan. Selasa 22 Juli 2025.

Dalam aksi damai, 4 Sub Suku menyampaikan apresiasi atas hasil verifikasi hutan adat yang diumumkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 9 Juli 2025. Namun demikian, masyarakat menyatakan bahwa hasil verifikasi itu masih jauh dari harapan mereka.

Oktavianus Kofarit, Kepala Sub Suku Nakna, menyampaikan rasa terima kasih atas disampaikannya hasil verifikasi tersebut.

“Setelah menunggu cukup lama, kami senang akhirnya ada rekomendasi yang keluar. Ini menunjukkan adanya komitmen negara dalam menghormati kearifan lokal dan hak ulayat masyarakat adat,” ujarnya.

Meski begitu, Oktavianus menegaskan kekecewaan atas isi hasil verifikasi tersebut.

“Kami juga menyampaikan keprihatinan atas klaim sepihak terhadap wilayah adat kami, terutama yang berada di luar kawasan hutan negara, yakni di Area Penggunaan Lain (APL) yang merupakan kewenangan ATR/BPN,” tegasnya.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Laurens Segetmena, Kepala Sub Suku Yaben, yang menolak segala bentuk pengabaian hak masyarakat adat.

“Kami menolak segala bentuk pemanfaatan wilayah hutan adat kami oleh pihak manapun tanpa persetujuan dan keterlibatan masyarakat adat. Wilayah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas, sejarah, dan kehidupan kami,” jelas Laurens.

Sementara itu, Julian Kareth, Kepala Sub Suku Afsya, menyerukan agar semua pihak berpihak pada kepentingan masyarakat adat serta menghormati nilai-nilai kearifan lokal.

“Saya meminta kepada seluruh pihak, termasuk perusahaan dan instansi pemerintah, untuk meninjau kembali dan mencabut izin-izin yang dikeluarkan tanpa melalui proses adat serta tanpa persetujuan masyarakat hukum adat. Kami percaya bahwa pembangunan berkelanjutan harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap nilai budaya, lingkungan, dan hak masyarakat lokal,” tegasnya.

Kepala Sub Suku Gemna juga menambahkan bahwa bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari kehidupan.

“Hutan adalah ibu, pelindung, dan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Kami akan terus memperjuangkan hak kami dengan semangat damai dan dialog, demi menjaga kehormatan leluhur serta masa depan anak cucu kami. Kami mengajak semua pihak untuk bersama-sama membangun masa depan yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, di mana masyarakat adat menjadi bagian penting dalam menjaga bumi dan peradaban,” pungkasnya.

Berikut perbaikan redaksional untuk membuat tulisan Anda lebih tertata, jelas, dan sesuai kaidah jurnalistik:

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu menyatakan bahwa pemerintah terbuka dan siap menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

“Kami menerima dengan baik aspirasi dari masyarakat empat sub-suku terkait tanah mereka. Memang ada sekitar 14 ribu hektare yang sudah berstatus HGU. Namun, terkait proses perolehan HGU itu, kami juga belum mengetahui apakah masyarakat adat dilibatkan atau tidak. Karena ketika provinsi ini terbentuk, HGU tersebut sudah ada,” jelas Julian.

Ia mengatakan, untuk menindaklanjuti persoalan ini, pihaknya akan menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak terkait.

“Kami akan mengundang Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Papua Barat dan Papua Barat Daya, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan, serta beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis seperti PUPR yang saat ini sedang menyusun rencana tata ruang wilayah. Apabila memungkinkan, kita akan mengatur kembali peruntukannya melalui dokumen tata ruang. Jika ada mekanisme hukum untuk mencabut HGU tersebut, tentu akan kami dorong,” ujarnya.

Julian menekankan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengetahui dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait tanah mereka.

“Banyak masyarakat menyampaikan bahwa mereka tidak pernah diajak bicara soal ini. Padahal, merekalah pemilik hak ulayat. Kita di provinsi ini baru hadir, dan harus merespons dengan adil,” tegasnya.

Ia juga menyinggung dasar hukum pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2022.

“Undang-Undang ini menyebut bahwa kehadiran Provinsi Papua Barat Daya bertujuan untuk mempercepat pembangunan, meningkatkan pelayanan publik, dan mengangkat harkat serta martabat orang asli Papua. Kata ‘mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua’ itu penting dan harus digarisbawahi. Itu bukan pernyataan saya, tetapi bunyi dari undang-undang,” tegas Julian.

Menutup pernyataannya, Julian menambahkan bahwa pihaknya akan menggelar rapat terbatas dan melakukan koordinasi lebih lanjut ke pemerintah pusat.

“Hari ini juga, kami akan melaporkan aksi dan aspirasi masyarakat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai informasi awal bahwa ada tuntutan masyarakat adat yang belum puas. Mereka kecewa, gelisah, bahkan tidak bisa tidur karena HGU 14 ribu hektare itu berada di atas tanah adat mereka,” tutupnya.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.