SORONG,sorongraya.co- Pemilik Taman Wisata Lensoin 1 dan 2 Hanafi Warfandu serta pemilik Taman Wisata Manusela Suratman Rumalean keluhkan pencemaran lingkungan yang semakin masif dari limbah PT Bagus Jaya Abadi.
Tak heran jika pemilik hak ulayat Hanafi Warfandu bersama Suratman Rumalean menyampaikan kegelisahaannya lantaran setahun kemarin mereka sama sekali tak mendapat keuntungan dari pengelolaan taman wisata milik mereka.
Menurut Hanafi, pemalangan yang kami lakukan dilatarbelkaangi tidak adanya toleransi dari pihak perusahaan. Sementara kami sebagai pemilik hak ulayat bergantung hidup pada tempat wisata ini.
” Kalau kita diam pasti perusahaan pasti diam. Kita tahu bahwa perusahaan punya uang bahkan hukum yang berlaku di negara ini mungkin juga bisa di beli oleh perusahaan,” kata Hanafi Warfandu, Kamis, 02 Februari 2023.
Hanafi menambahkan, sebelum melakukan pemalangan, dirinya bersama Suratman Rumalean, pemilik tempat wisata Manusela mendatangi polresta Sorong Kota dengan maksud mengonfirmasi laoran polisi yang dilaporkannya terkait dugaan pencemaran lingkungan, sayangnya jawaban polresta Sorong Kota katakan mereka kesulitan datangkan ahli mengingat terbatasnya anggaran.
” Terjadi perdebatan antara pemilik hak ulayat dengan pihak PT Bagus Jaya Abadi saat pemalangan terjadi. Ketika dimediasi di polsek Sorong Barat, pihak perusahaan menyampaikan apakah kalian tidak berpikir jika perusahaan di palang bagaimana dengan karyawa. Hanafi pun menjawab, apakah selama kurang lebih 9 tahun ini perusahaan memikirkan kami yang terdampak dari pencemaran lingkungan,” ujarnya.
Hanafi menegaskan, kalau mau ada titik terang maka perusahaan juga harus memikirkan dampak yang kami terima. Apalagi sebentar lagi kita yang ada ini mau menghadapi lebaran. Jika tempat wisata kami terus mengalami pencemaran lingkungan, lantas bagaimana kita bisa mendapatkan uang.
” Pengunjung yang datang ke tempat wisata kami tidak bisa mandi sebab air lautnya kotor dan dipenuhi lumpur dan batu,” ujarnya.
Hanafi mengaku, sudah 2 kali diundang oleh polsek Sorong Barat untuk mediasi pasca pemalangan, pihak Bagus Jaya Abadi tak pernah hadir.
Tak hanya kami yang terkena imbas dari pencemaran lingkungan yang diakibat oleh aktivitas penambangan batu pecah yang dilakukan PT Bagus Jaya Abadi. Nelayan pencari lobster serta sekitar 30 PKL yang ada di areal 7 taman wisata Tanjungkasuari turut terkena imbasnya.
” Sebaran pencemaran lingkungan semakin meluas, 300 meter dari bibir pantai ke tengah laut dan 1,5 sepanjang pantai Tanjungkasuari,” kata Hanafi.
Diakui oleh Hanafi sepanjang tahun 2021 dirinya hanya sebagai penonton. Meskipun mrmiliki tempat wisata tetapi mendapatkan income. Sementara prmilik taman wisata yang lain masih bisa mendapatkan uang.
Bahkan Hanafi menilai bahwa rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kots Sorong sama sekali diabaikan. Padahal sesuai rekomendasi yang ada PT Bagus Jaya Abadi diminta untuk membersihkan lumpur dan batu yang ada di areal taman wisata Lensoin 1 dan 2 serta Manusela.
” Kami berkeinginan agar izin daripada PT Bagus Jaya Abadi dicabut karena perusahaan ini tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat,” ungkapnya.
Pihak perusahaan juga harus menanam kembali mangrove yang ada di sekitar taman wisata tersebut. Sejak tahun 2013-2016 jumlah pohon mangrove di situ sangat banyak.
” Sekarang dengan adanya aktivitas pertambangan batu pecah milik PT Bagus Jaya Abadi jumlah pohon mangrove sudah habis,” kata pemilik taman wisata Manusela, Suratman Rumalean.
Sementara Anggota DPR Papua Barat dari Fraksi Otonomi Khusus, Agustinus Kambuaya mengatakan, dirinya sudah beberapa kali datang ke Tanjungkasuari untuk mandi. Karena kondisi air laut yang keruh dan kotor sehingga saya sekeluarga tidak jadi mandi.
Orang masih memilih berwisata ke Tanjung Batu, tapi tidak menutup kemungkinan jika pencemaran laut ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin sebaran pencemaran lingkungan ini akan sampai ke obyek wisata TanjungBatu.
” Secara teknis mengenai perizinan pertambangan kan ada dinas pertambangan dan dinas lingkungan hidup, itu ranah mereka. Proses recovery itu menjadi tanggung jawab perusahaan,” kata Agustinus.
Boleh jadi kata Agustinus, perusahaan galian C yang dimaksud bisa melakukan recovery tetapi mengembalikan ke keadaan semula sangat sulit dilakukan.
Dalam kasus ini terjadi kesenjangan, dimana ekonomi dari perusahaan galian C tetap hidup, namun ekonomi pemilik tempat wisata mati. Artinya, pemilik tempat wisata yang sehari-hari bergantung dari pendapatan pengunjung yang datang kini tak lagi ada dikarenakan empat wisata mereka kotor oleh aktivitad galian C.
Seperti pepatah mengatakan ruang privatmu jangan menggung ruang privat orang lain. Hakmu melakukan aktivitas galian C tetapi dari aktivitas tersebut mengganggu orang lain. Maka tanggung jawabmu terhadap orang yang terkena imbas dari bisnismu.
” Sederhana sekali, itu sifatnya logika sosial. Masyarakat yang berada di wilayah tersebut harus diberdayakan dengan program yang namanya Coorporate Social Responsibility (CSR),” ujar Agustinus.
Menurut Agustinus, tanggung jawab sosial yang dimaksud adalah mengembalikan kehidupan sosial yang ada di wilayah tersebut.
” Bagi saya kasus ini tidak hanya sekadar mengganti melainkan mengembalikan semua ekosistem yang ada di darat maupun laut,” tuturnya.
Saran saya, pelaku galian C sebaiknya sadar dan bertanggung jawab sebab tak hanya ekosistem yang dirusak. Masyarakat sekitar pun turut merasakan dampaknya.
” Kita tidak bisa mengonversi berapa jumlah kerugian ynag dialami tetapi bagaimana mengembalikan keadaan semula. Saya tidak akan terima uang ganti rugi melainkan kembalikan keindahan laut sehingga pengunjung bisa kembali berwisata ke sini,” tegas Agustinus