Metro

Sawit di Papua: Menanam Petaka di Atas Hak Ulayat

×

Sawit di Papua: Menanam Petaka di Atas Hak Ulayat

Sebarkan artikel ini
Franky Umpain, Anggota Ketuah Haria LP3N PD

SORONG,sorongraya.co- Instruksi Presiden Prabowo Subianto yang mendorong penanaman sawit secara masif di Tanah Papua dalam rapat di Istana Negara, Selasa (16/12/2025), memicu luka lama yang belum sembuh. Bagi kami di Papua, arahan ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan ancaman nyata terhadap ruang hidup, identitas, dan kedaulatan masyarakat adat yang telah menjaga hutan ini selama ribuan tahun.

​Tanah Adalah Ibu, Bukan Komoditas

Bagi orang asli Papua (OAP), tanah adalah ibu yang memberi kehidupan. Ketika Jakarta bicara tentang “akselerasi pembangunan” melalui sawit, yang kami dengar adalah rencana penggusuran hutan sagu, penghancuran dusun-dusun adat, dan peminggiran sistematis terhadap pemilik hak ulayat. Memaksakan sawit di Papua berarti memaksa masyarakat adat berubah dari pemilik tanah menjadi buruh upahan di tanahnya sendiri. Ini bukan pembangunan, Ini adalah perampasan ruang hidup yang dibungkus dengan bahasa regulasi.

​Kegagalan yang Berulang

Kita tidak boleh amnesia. Proyek-proyek raksasa seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate_ (MIFEE) telah meninggalkan jejak kehancuran yang nyata. Hutan hilang, sumber air tercemar, dan masyarakat adat kehilangan kemandirian pangannya. Sawit hanya membawa kemakmuran bagi segelintir oligarki di Jakarta, sementara rakyat Papua hanya mendapatkan sisa-sisa konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang permanen. Papua tidak butuh monokultur; Papua butuh pengakuan atas hak ulayat yang selama ini sering diabaikan demi izin konsesi.

​Benteng Terakhir yang Terancam

Papua adalah benteng terakhir hutan tropis di Indonesia. Menghancurkan hutan Papua demi sawit adalah sebuah pengkhianatan terhadap masa depan bumi. Di tengah krisis iklim global, seharusnya negara berterima kasih kepada masyarakat adat Papua yang telah merawat hutan, bukan justru memberi jalan bagi alat-alat berat untuk meratakan paru-paru dunia ini. Strategi pembangunan yang hanya mengejar target biofuel jangka pendek adalah kebijakan yang buta terhadap nilai-nilai ekologi dan kemanusiaan.

Kesimpulan: Pembangunan Tanpa Paksaan

Pemerintah harus berhenti memandang Papua sebagai objek eksperimen industri ekstraktif. Pembangunan di Papua harus dimulai dari manusia Papua, bukan dari kepentingan korporasi sawit.

Jika Presiden benar-benar ingin membangun Papua, berikan pengakuan hukum yang kuat atas tanah ulayat, dukung ekonomi berbasis komoditas lokal seperti sagu dan kakao, dan dengarkan suara mama-mama Papua yang hidupnya bergantung pada hutan.

Jangan tanam sawit di atas air mata masyarakat adat.

Jangan jadikan Papua sebagai tumbal bagi ambisi energi nasional. Sebab, ketika pohon terakhir ditebang dan sungai terakhir tercemar, emas hitam dari sawit tidak akan bisa menggantikan nyawa dan budaya kami yang hilang.

“Membangun Papua bukan dengan meratakan hutannya, tetapi dengan meninggikan derajat manusianya di atas tanah mereka sendiri.”

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.