MetroTanah Papua

Menjaga Marwah Otonomi di Papua Barat Daya

×

Menjaga Marwah Otonomi di Papua Barat Daya

Sebarkan artikel ini
Franky Umpain, Anggota Ketuah Haria LP3N PD

​Oleh: Franky Umpain

SORONG, sorongraya.co – ​Lahirnya Provinsi Papua Barat Daya sebagai Daerah Otonomi Baru sejatinya adalah janji suci negara untuk mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat kesejahteraan di Tanah Papua. Namun, janji tersebut kini menghadapi ujian integritas yang serius. Peringatan keras Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah Papua Barat Daya, yang dinilai menjadi penghambat tata kelola dan penyerapan dana Otonomi Khusus, menjadi alarm bahwa ada patologi birokrasi yang tengah menjangkiti provinsi termuda ini.

​Dalam diskursus administrasi publik, Sekretaris Daerah adalah chief operating officer yang menjadi jangkar birokrasi. Sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah, ia memegang kunci utama dalam menerjemahkan visi politik menjadi realitas eksekusi anggaran. Namun, data menunjukkan bahwa persoalan klasik di Papua bukanlah ketiadaan modal, melainkan “paradoks kelimpahan”.

Baca: Polda Papua Barat Daya Siagakan 793 Personel Amankan Nataru

Merujuk pada data Kementerian Keuangan, alokasi dana Otsus terus meningkat pasca-UU No. 2 Tahun 2021, namun jika rasio penyerapan anggaran tetap rendah akibat sumbatan manajerial, maka keadilan spasial yang dicita-citakan hanya akan menjadi fatamorgana.

​Ironi dana Otsus yang tidak terserap secara optimal adalah luka bagi keadilan sosial. Kita diingatkan pada tesis Daron Acemoglu dalam Why Nations Fail, bahwa kegagalan suatu wilayah seringkali disebabkan oleh institusi politik dan ekonomi yang bersifat “ekstraktif”, yakni institusi yang dikelola hanya untuk melayani kepentingan segelintir elite ketimbang menciptakan insentif bagi kemajuan publik. Ketika birokrasi sengaja diperlambat, muncul ruang bagi “perburuan rente” (rent-seeking) yang merugikan rakyat.

Baca juga: Pemerintah Pusat Rampungkan Pembangunan Lapangan Voli dan Futsal 

Setiap rupiah dana Otsus yang mengendap di kas daerah akibat labirin birokrasi berarti tertundanya hak anak-anak Papua untuk mendapatkan pendidikan layak, atau tertahannya akses kesehatan di pelosok. Sebagaimana ditegaskan oleh tokoh kemanusiaan Mahatma Gandhi, “The greatness of a nation is measured by how it treats its weakest members.” Di Papua Barat Daya, ukuran kehebatan pemerintahannya seharusnya dilihat dari seberapa cepat anggaran tersebut menyentuh lapisan masyarakat terbawah, bukan seberapa rapi laporan itu tertumpuk di meja pejabat.

​Lebih jauh, sorotan KPK mengisyaratkan adanya kerentanan pada integritas tata kelola di daerah pemekaran. Sistem pengawasan yang belum mapan sering kali dijadikan dalih untuk menjustifikasi inefisiensi. Padahal, pembangunan Papua Barat Daya tidak bisa dilakukan dengan mentalitas business as usual.

Diperlukan kepemimpinan birokrasi yang lincah (agile governance) dan memiliki empati mendalam. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, memegang tanggung jawab moral untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Penunjukan pejabat tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan senioritas, melainkan pada komitmen etis.

​Pada akhirnya, otonomi adalah tentang memanusiakan manusia. Jika birokrasi yang seharusnya menjadi jembatan justru berubah menjadi tembok, maka makna otonomi itu sendiri akan luruh. Kita tentu tak ingin melihat Papua Barat Daya terjebak dalam sejarah kelam kegagalan administratif. Marwah otonomi harus diselamatkan dengan memastikan bahwa para pengelolanya adalah mereka yang sudah “selesai” dengan dirinya sendiri dan sepenuhnya mewakafkan kinerja untuk kemajuan Papua. (*)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.