SORONG, sorongraya.co- Rapat Koordinasi Penetapan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria lintas kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat Daya digelar di salah satu hotel di Kota Sorong, Rabu 6 Agustus 2025.
Direktur Jenderal Reforma Agraria Kementerian ATR/BPN, Rudi Rubijaya, menyatakan bahwa rapat ini menjadi langkah awal yang penting dalam pelaksanaan reforma agraria di Papua Barat Daya.
“Kami membahas dan mengidentifikasi objek-objek redistribusi tanah sebagai bagian dari proses awal. Ini sangat krusial untuk mencegah konflik pertanahan di masa depan. Melalui redistribusi dan penataan akses, kita berharap bisa menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat,”ujarnya.
Meskipun Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di provinsi ini belum terbentuk, Rudi mengapresiasi inisiatif Dinas LHK dan Pertanahan Papua Barat Daya yang telah menyelenggarakan kegiatan ini lebih awal, sejalan dengan amanat Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria.
Rudi menambahkan, sejumlah persoalan yang muncul di lapangan turut dibahas dalam rapat, seperti perizinan, status kawasan, serta tumpang tindih regulasi. Apalagi, sebagai daerah otonomi baru, kebutuhan lahan di Papua Barat Daya sangat tinggi.
“Kondisi ini perlu dibahas dalam forum GTRA yang melibatkan Forkopimda, OPD teknis, kejaksaan, kepolisian, kehutanan, dan instansi lainnya agar bisa dicari solusi bersama,” jelas Rudi.
Menurutnya, GTRA memiliki peran strategis dalam menangani konflik pertanahan, penataan aset dan akses. Jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, maka dapat dibawa ke GTRA pusat untuk ditindaklanjuti.
Terkait isu tanah terlantar, ia meluruskan bahwa negara tidak serta-merta mengambil alih lahan tersebut.
“Proses pengambilalihan dilakukan secara bertahap dan melalui mekanisme peringatan. Untuk badan hukum, jika dalam dua tahun hak tidak dimanfaatkan, negara dapat melakukan penertiban. Sementara untuk tanah perorangan, pendekatannya lebih fleksibel,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa prinsip dasar reforma agraria tetap menghormati keberadaan tanah ulayat atau tanah adat. Pemerintah mendorong percepatan penetapan dan sertifikasi tanah adat, dengan syarat batas dan subjek hukumnya jelas.
“Kami berharap Papua bisa mengikuti langkah seperti di Bali, di mana tanah adat desa telah ditetapkan dan disertifikasi. Pemerintah tidak akan mengambil tanah masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas,” katanya.
Namun, untuk tanah-tanah yang berada di tengah kota dan tidak dimanfaatkan sehingga menimbulkan masalah sosial, pemerintah berhak melakukan penertiban dengan pendekatan yang berbeda antara milik pribadi dan badan hukum.
Sementara itu, Kepala Dinas LHK dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, mengungkapkan bahwa banyak persoalan pertanahan yang ditemukan di wilayahnya.
“Banyak masalah, mulai dari tumpang tindih antara kawasan hutan dengan tanah adat, tanah bersertifikat yang masuk dalam kawasan hutan, hingga SK TORA dan SK Biru yang belum berjalan maksimal,” pungkasnya.
Kelly juga menyoroti adanya aksi protes masyarakat adat, seperti yang terjadi di Sorong Selatan, Konda, terkait HGU yang dianggap sebagai tanah terlantar.
“Kami adalah provinsi baru yang membutuhkan banyak lahan untuk pembangunan. Tidak hanya untuk pemerintah provinsi, tapi juga TNI, Polri, dan sektor lainnya,”terangnya
Menurutnya, permasalahan ini tidak akan selesai tanpa mekanisme reforma agraria. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya segera membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat provinsi.
“Dalam GTRA akan ada unsur OPD teknis, Kanwil BPN, Balai Kehutanan, hingga aparat penegak hukum seperti Polda dan Kejaksaan. Ini akan menjadi forum strategis untuk menyelesaikan berbagai persoalan,” terangnya.
Julian juga menyebutkan bahwa semua kabupaten/kota di Papua Barat Daya sudah memiliki SK Biru. Tantangannya adalah bagaimana memproses dokumen tersebut agar dapat diterbitkan sertifikatnya.
“Termasuk juga tanah adat, bisa disertifikatkan sepanjang letak dan batas-batasnya jelas dan tidak tumpang tindih, tanah ini isu yang sensitif dan seksi. Hampir semua wilayah di Papua Barat Daya memiliki persoalan tanah, bahkan bisa mencapai ratusan ribu hektare,” ungkapnya.
Karena itu, salah satu prioritas pemerintah daerah saat ini adalah melakukan inventarisasi seluruh HGU.
“Kami akan cek satu per satu. Bila ada HGU yang tidak dimanfaatkan, akan kami proses sesuai mekanisme untuk dikembalikan ke negara dan diserahkan kepada masyarakat,” lanjutya Kelly.
ISelain itu, Kelly Kambu juga menyoroti praktik pemilik HGU yang hanya memanfaatkan lahan sebagai jaminan kredit, namun investasi dilakukan di daerah lain.
“Langkah pertama adalah pembentukan GTRA. Kedua, inventarisasi seluruh HGU. Ketiga, menyelesaikan seluruh polemik dalam forum GTRA agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari,” tutup Julian Kelly Kambu.