SORONG, sorongraya.co- Komunitas Petani Milenial Kabupaten Sorong lahir bukan dari ruang rapat atau program pemerintah, melainkan dari obrolan santai lima anak muda di sebuah warung kopi. Dari diskusi kecil itu, muncul ide untuk membentuk wadah bersama guna membahas persoalan pertanian dan memperjuangkan nasib petani secara mandiri.
“Awalnya hanya lima orang yang sering ngopi bareng dan ngobrol tentang masalah petani. Lalu muncul ide, kenapa nggak bikin organisasi sendiri?” ungkap Hendro Purnomo, Ketua Petani Milenial Kabupaten Sorong. Minggu (27/07/2025).
Namun berbeda dengan kelompok tani yang umumnya terbentuk untuk mengakses bantuan pemerintah, komunitas ini menjadi komunitas mandiri. Fokus mereka adalah menjadi ruang diskusi isu-isu pertanian, berbagi ilmu, dan saling menguatkan.
“Komunitas ini bukan kelompok tani. sebagai pengharap bantuan. Kami bentuk komunitas untuk saling belajar dan menyuarakan kepentingan petani,” jelas Hendro.
Seiring waktu, komunitas ini berkembang. Dari lima orang bertambah menjadi sepuluh, lalu rutin menggelar pertemuan yang akhirnya menjangkau anggota di berbagai distrik di Kabupaten Sorong.
Menariknya, mayoritas anggota bukan berasal dari latar belakang petani. Ada guru, mantri, bahkan pekerja kantoran. Namun mereka melihat potensi besar dalam pertanian, jika dikelola secara profesional.
“Kami percaya pertanian bisa menjadi jalan hidup yang menjanjikan kalau dikelola dengan serius,” ujar Hendro.
Untuk meningkatkan kapasitas anggota, komunitas rutin menggelar sesi berbagi dan menghadirkan pemateri. Meski hari itu narasumber dari laboratorium penanganan hama berhalangan hadir, mereka tetap melanjutkan diskusi dengan pendekatan kasus nyata di lapangan.
“Kalau kucuk cabai kuning, berarti ada masalah tertentu. Kami bahas berdasarkan pengalaman langsung, bukan hanya teori,” ujarnya.
Hingga saat ini, fokus utama komunitas adalah pada pertanian hortikultura seperti cabai dan tomat, karena dinilai lebih cepat menghasilkan dan lebih mudah menyesuaikan dengan tren pasar. Petani milenial di Sorong terbiasa membaca situasi pasar, menanam sesuai prediksi harga tiga bulan ke depan.
“Seperti sekarang, harga cabai dan tomat sedang naik. Teman-teman yang panen lagi senang karena hasilnya bagus dan harga jual tinggi,” kata Hendro.
Meskipun aktif, belum ada anggota komunitas yang menanam padi. Dukungan terhadap ketahanan pangan nasional masih terbatas. Namun, perlahan mulai ada yang menjajaki komoditas pokok seperti jagung.
Hendro mengungkapkan, tantangan utama petani milenial di Sorong adalah soal modal dan akses terhadap pupuk subsidi. Karena belum tergabung dalam kelompok tani resmi, banyak yang belum bisa menikmati fasilitas dari pemerintah. Akibatnya, mereka harus membeli pupuk nonsubsidi yang jauh lebih mahal.
Di sisi lain, mereka juga dihadapkan dengan ancaman hama yang variatif dan sulit diprediksi. Musim dan cuaca turut memengaruhi jenis dan intensitas serangan hama terhadap tanaman.
Namun menurut Hendro, tantangan terbesar adalah ketidakstabilan harga. Ketika petani sukses merawat dan memanen hasil, mereka justru bisa merugi karena harga jatuh saat panen raya.
“Lucu kan, petani sudah kerja keras, panen banyak, eh malah rugi karena harga anjlok. Kalau gagal panen rugi itu wajar, tapi kalau panen raya juga rugi, itu ironi,” ungkapnya.
Hendro menegaskan bahwa petani bisa berjuang sendiri dalam hal produksi, tetapi tidak bisa mengendalikan pasar tanpa campur tangan pemerintah. Menurutnya, pemerintah perlu hadir untuk menjaga stabilitas harga komoditas pertanian.
“Naik-turun harga itu wajar, tapi jangan ekstrem. Harga cabai sampai Rp150 ribu per kilo itu bikin pembeli keberatan. Tapi kalau jatuh ke Rp40 ribu, petani rugi besar. Pemerintah harus ambil peran supaya fluktuasinya sehat,” Harap Hendro.