SORONG,sorongraya.co- Berangkat dari hasil liputan yang diinisiasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) melalui plaform Depati Projec, liputan 6 media CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com dan Jaring.id menarik untuk melihat fakta bahwa pemerintah belum menunjukkan keseriusan menangani deforestasi hutan.
Karenanya, SIEJ menggandeng Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Papua Forest Watch serta Akademisi Universitas Muhammadiyah Sorong membedah permasalahan deforestasi hutan yang terjadi di Borneo serta membahas isu kekinian penataan hutan dan Kawasan Konservasi di Papua Barat Daya.
Koordinator SIEJ Simpul Papua Barat Daya, Djunedi memaparkan diskusi publik ini dilatarbelakangi oleh adanya hasil liputan investigasi Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) melalui plaform Depati Project,, liputan 6 media CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com dan Jaring.id terhadap aktivitas perusahaan Kelapa Sawit PT Mayana di Kalimantan yang membuat Orangutan jadi gelandangan.
Menurutnya, hasil liputan ini bisa dijadikan proses belajar bagi jurnalis, mahasiswa dan aktivis lingkungan di Provinsi Papua Barat Daya. Sebab sebagai Provinsi termuda di Indonesia sangat perlu belajar dari fenomena rusaknya hutan yang berdpada satwa endemik menjadi kehilangan habitatnya.
” Sore hari ini kita akan nobar liputan investigasi terkait aktivitas perusahaan sawit Mayawana yang berdampak terhadap deforestasi. Setelah kita nobar, dilanjutkan dengan diskusi publik, ” kata Djunedi di Hangout Evenue Jalan Sungai Maruni Km 10, Kota Sorong, Selasa, 04 Juni 2024.
Lebih lanjut Djunedi sampaikan, seperti kita ketahui bahwa Papua Barat Daya inikan merupakan provinsi baru, sehingga kalau tidak sekarang belajar dari kasus Borneo, kapan lagi.
” Kita tentu ingin melindungi kawasan konservasi Papua Barat Daya sementara di Papua secara keseluruhan maupun Papua Barat Daya itu wilayahnya dominan dengan hutan. Jadi, belajar dari kasus Borneo kita berupaya untuk menjaga kawasan konservasi di Papua Barat Daya,” ujarnya.
Dalam diskusi publik ini, SIEJ Simpul Papua Barat Daya mengundang tiga narasumber yang tahu betul kondisi dan ancaman terhadap kawasan konservasi yang ada di Papua Barat Daya serta jurnalis kolaborator Depati Project.
Keempat narasumber itu yakni Charles Tawaru selaku pendiri dan sekaligus Ketua Papua Forets Watch di Tanah Papua, Amelia Puhili peneliti dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Syarif Ohorella, S.Hut., M.Si yang kesehariannya sebagai Dosen juga Peneliti di Universitas Muhammadiyah (Unamin) Sorong dan Aryo Bhawono, jurnalis kolaborator.
Charles Tawaru katakan fenomena yang terjadi di Kalimantan sebenarnya telah pula terjadi di Provinsi Papua Barat Daya. Hutan Papua sebagai benteng terakhir sekaligus paru-paru dunia harus terus dijaga.
” Alih fungsi lahan menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit menjadi ancaman serius yang dapat membuat laju deforestasi semakin tinggi.,” ungkapnya.
Charles menyebut, pada pertengahan tahun 2021 ada belasan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat yang dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Sorong.
” Di Provinsi Papua Barat sebelum pemekaran ada 24 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki konsesi seluas sekitar 759.000 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 625.000 hektare diantaranya adalah kawasan hutan,” ujarnya.
Charles juga menyebut, dari 16 perusahan sawit yang izinnya dicabut itu memiliki lahan seluas 340.000 hektare. Sudah barang tentu antisipasi langsung dilakukan sebagai upaya mitigasi.
” Teman-teman aktivis lingkungan langsung mendorong dilakukan pemetaan wilayah adat. Lahan yang diambil alih lantas diterbitkan Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat, ” tuturnya.
Dia menyampaikan, pemetaan wilayah adat di Kabupaten Soronng sudah hampir rampung. Sehingga masyarakat bisa mengenal potensi yang telah diambil pulang.
Di sisi lain, Amelia Puhili menyoroti sisi perempuan adat yang digambarkan oleh jurnalis kolaborator investigasi khusus dalam video tersebut.
Menurut Amelia Puhili kasus di Kalimantan atau Borneo sama pula yang ditemukan di Papua Barat Daya.
Salah satu riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menemukan bahwa deforestasi itu juga berimplikasi pada transisi pola pandangan masyarakat.
Kemudian, lanjut Amelia, masyarakat kerapkali diiming-imingi kesejahteraan oleh perusahaan tapi sebenarnya kondisi lapangan masyarakat tidak menjadi lebih sejahtera banget, malah mungkin menjadi lebih susah hidupnya.
” Mereka yang tadinya memiliki hubungan yang sangat lengkap dengan hutan terus kemudian terpisah,” katanya.
Amelia menyebut, dalam film ini menceritakan juga lama-lama atau ibu-ibu ini mereka pada akhirnya tergantung pada hutan karena memang untuk mencari sumber pangan mereka itu sudah kehabisan waktu lantaran sudah fokus di perkebunan kelapa sawit, ” ujar Amelia Puhili.
Dirinya pernah mendengar cerita waktu di lapangan itu bahkan anak-anak terpaksa tidak sekolah, karena bapak mereka kerja di kebun kelapa sawit tapi tidak ada yang menyediakan makanan buat mereka. Kemudian mamanya harus berkebun, otomatis kedua orang tua harus meninggalkan anak itu dari pagi hingga sore hari.
” Bahkan ada satu kasus, anaknya sekolah itu dibagi dalam seminggu tiga hari, dalam arti, dia ke sekolah 3 hari, 3 harimya.lagi tidak sekolah,” tuturnya.
Berbeda dengan dua narsum sebelumnya, Syarif Ohorella sebagai dosen peneliti memiliki tanggung jawab sebagai Rimbawan mengaku tak mengingatkan pemerintah daerah meski dirinya terkadang merasa lelah.
” Kami sepakat mengatakan bahwa pada hari ini persoalan terbesar di negeri ini adalah masalah keberlangsungan lingkungan hidup, ” beber Syarif Ohorella.
Masalah keberlangsung hidup ini, bukan cerita bohong tapi nyata. Hari ini juga 5 atau 10 atau 20 menit yang lalu, Perserikatan Muhammadiyah barusan mengupdate status di laman facebooknya yang menulis seperti ini persoalan terberat Organisasi Muhammadiyah sekarang adalah dakwah tentang lingkungan.
” Itu artinya kami sebagai peneliti mau mengajak semua stakeholder, mari kita berikan konsentrasi penuh terhadap keberlangsungan lingkungan hidup,” ajak Syarif.
Syarif menyebut, dari hasil kajian dan riset yang dilakukamnya, ada tiga masalah utama dalam keberlangsungan lingkungan hidup, yakni pembalakan liar, kesemrautan izin pertambangan dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan
” Masalah lingkungan hidup ini, masalah paling serius. Kita tak bisa main-main. Saat ini, kita boleh bersantai, tetapi lihat 5 atau 10 tahun kedepan kondisi keberlangsungan lingkungan hidup akan mengalami krisis, karena negara tidak betul-betul hadir,” ujar Syarif.
Masalah deforestasi berkaitan dengan UU tentang tata ruang dan juga UU tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, tetapi apa yang terjadi luas hutan terus berkurang.
” Trendnya tidak positif tetapi saya boleh mengklarifikasi tadi kalau disampaikan luas hutan Papua Barat 8 juta hektar sebelum pemekaran. Sekarang sudah terbagi, jadi Papua Barat Daya hanya 3-4 juta hektar,” kata Syarif.
Bahkan, luas daratan yang tadi disampaikan 70%. Saya sepakat dengan moderator tadi bilang bahwa 8 uas daratan kita saat ini adalah 80%.
” Apakah 5-10 tahun ke depan masih tetap 80%? Tidak perlu jauh-jauh kita lihat saja di Kota Sorong, aslinya adalah kawasan penyangga bukan kawasan pemukiman ataupun aktivitas-aktivitas kehidupan manusia,” ujarnya.
Syarif berharap dalam diskusi ini bisa hadir Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Papua Barat Daya supaya kita bisa mengetahui regulasi dari pemerintah daerah soal penataan hutan.
Di tempat terpisah, Aryo Bhawono menuturkan lebih banyak bercerita soal kondisi riil yang dilihat saat melakukan investigasi khusus.
Dia mengaku bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit kerapkali mendapat ancaman.
Sebelum ditutup, narasumber dan peserta diskusi publik deklarasi bersama ” Satu Kata, Save Hutan Papua Barat Daya”.