JAKARTA,sorongraya.co- Penggerak Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania menceritakan bagaimana warga di wilayahnya, yang hanya berjarak dua kilometer dari Ibu Kota Jakarta, menjadi korban kebiadaban perusahaan dan pemerintah.
Cerita itu disampaikannya pada ajang Green Press Community yang di gelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of lndonesian Environmental Journalists) di gedung pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Kamis, 9 Nopember 2023.
Dalam kesempatan tersebut, Asmania menegaskan bahwa perempuan Pulau Pari, berkomitmen penuh menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir. Laut menjadi sumber kehidupan bagi warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan itu.
Dia mengungkapkan bahwa warga pulau telah melakukan berbagai upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya ekosistem laut dengan rutin menanam mangrove di wilayah pesisir.
” Kami perempuan-perempuan pulau Pari berkomitmen menanam mangrove setiap bulannya. Terakhir kami juga menanam 6.000 mangrove bersama wisatawan,” kata wanita yang akrab disapa Teh Aas tersebut.
Asmania mengaku bahwa upaya yang dilakukan perempuan-perempuan pulau Pari seolah-olah tidak ada artinya lantaran reklamasi besar-besaran yang terjadi.
Pada akhirnya, ekosistem laut akan tetap rusak dan warga pulau Pari pun kehilangan mata pencahariannya.
Ketika kami menanam mangrove, tapi di gugusan pulau Pari terjadi reklamasi besar-besaran.
” Itu yang menyebabkan terumbu karang rusak, suami-suami juga susah melaut,” tuturnya.
Asmania menyebut, ketika sudah tidak bisa melaut, otomatis perempuan-perempuan pulau Pari mempunyai beban ganda.
” Kami harus sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.
Asmania menambahkan, mereka telah berupaya mengadukan persoalan tersebut ke Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, bahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun upaya tersebut, belum juga membuahkan hasil positif. Sehingga ia pun menduga, pemerintah lebih condong ke perusahaan yang mendukung adanya reklamasi.
Perempuan yang akrab disapa teh Aas ini membeberkan bagaimana perusahaan memberikan tekanan terhadap warga pulau Pari. Bahkan tekanan tersebut dilakukan dengan cara yang tak elok ketika Indonesia yang telah 78 tahun merdeka.
” Cara-cara perusahaan itu masih zaman VOC. Kami warga Barat dan Timur masih diadu domba oleh mereka. Banyak kawan kami yang direkrut jadi security, dipekerjakan oleh perusahaan. Sehingga banyak kawan kami yang sudah tidak seperjuangan dengan kami,” tuturnya sembari menahan tangis.
Dia menegaskan, bahwa pihaknya warga pulau Pari akan terus berjuang untuk bertahan hidup di tanah kelahiran mereka, dengan konsisten menanam mangrove.
” Dengan bertanam adalah bentuk perlawanan. Kami tidak mau menjadi budak di tanah sendiri. Walaupun kami harus terus-terusan bentrok dengan security yang dikirimkan perusahaan,” tegasnya.
” Kami masih berjuang sampai sekarang untuk anak cucu kami,” pungkasnya.
Green Press Community merupakan ajang perdana yang diinisiasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists) guna menghimpun ide dan memantik gerakan bersama untuk melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.