SORONG,sorongraya.co- Badan Pertanahan Nasional Kota Sorong menggandeng Kepolisian Resor Sorong Kota dan Kejaksaan Negeri Sorong menggelar kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kasus Pertanahan.
Kegiatan yang berlangsung sehari di Hotel Belagri, Kamis (18/11/2021), selain diikuti jajaran Badan Pertanahan Nasional Kota Sorong, juga Distrik dan Kelurahan.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Sorong, Yarit Sakona menjelaskan, sosialisasi ini untuk mengidentifikasi pernasalahan tanah yang ada di desa atau kampung. Sosialisasi lebih ke bawah dulu dan kedepannya akan kita sesuaikan dengan karakteristik kepemilikan tanah.
” Satu hal yang unik di kota Sorong adalah sebagian besar tanah merupakan milik negara. Namun, dalam implementasinya sebagian besar tidak diakui oleh masyarakat. Kendati demikian, kita tetap menganut pada legalitas, dalam hal ini tanah garapan bukan pelepasan adat,” ujarnya.
Menurut Yarit, BPN sepakat dengan pihak terkait bahwa tanah yang menjadi milik negara, kita tidak lagi mengamodirnya dengan pelepasan adat. Yang ada hanyalah garapan.
” Mungkin ini hal baru, hanya saja selmaa ini tidak pernah digaungkan hingga ke tingkat distrik maupun kelurahan,” tambahnya.
Lebih lanjut Yarit mengatakan, keterbatasan SDM menyebabkan kita belum maksimal bekerja mengurangi permasalahan tanah. Meski begitu, pihak kepolisian dan kejaksaan telah melakukannya. Hnaya pemahaman kita soal UU Agraria ini dilihat berdasarkan kacamata kita.
Seharusnya permasalahan tanah yang beberapa waktu lalu sempat disidangkan di PN Sorong, dimenangkan oleh pemerintah. Karena diuji oleh majelis hakim dengan berpegang pada hati nurani sehingga putusannya bukan memennagkan pemerintah.
Terkadang masyarakat menilai bahwa aparat kita tidak bekerja maksimal, padahal sebenarnya tidak. Ironi memang kasus yang beberapa waktu lalu sempat disidangkan oleh PN Sorong.
Disisi lain, tahun 2014 barulah lahir yang namanya Kawasan Lindung. Kemudian ada SK Pelepasan Kawasan tahun 1983. Padahal SK yang sudah terbit sebelumnya mengacu pada Tata Guna Hutan Kesepakatan yang lahir pada 1979 hingga 1983.
Nah, di dalam TGHK itu telah menetapkan areal yang sudah ada sertifikatnya itu sebagai kawasan-kawasan permukiman.
Sertifikat muncul tahun 1970 sampai 1990 baru kemudian tahun 2014 dari KLHK muncul itu sebagai Kawasan Hutan Lindung.
Permasalahan lainnya, yaitu antara hak dan kawasan berbeda. Cuma ketika kita kembalikan kepada fungsinya berkaitan dengan kawasan, dimana berkaitan erat dengan perizinan karena memang kawasan yang dimaksud di larang merubah fungsinya.
Tetapi terkait dengan hak, logikanya ada pengakuan negara terhadao tanah si A maupun B. Ini beekaitan dengan lebel atau pengakuan. Sayangnya, kawasan tidak memberikan pengakuan atas kepemilikan. Tak heran jika menjadi konflik tambahan,” papar Yarit.
Yarit menilai, misalnya ada salah satu marga membuat perkampungan baru di atas tanah adat lalu dikatakan dia melanggar karena membangun di areal KHL, apakag pantas dipidanakan.
Koordinasi dengan pihak-pihak terkait sangat penring di lakukan. Dulu kita sebatas koordinasi melalui seminar saja. Hari ini polisi dalam menangani perkara tanah selalu melibatkan pihak BPN guna meminta pendapat. Bagi saya, polisi saat ini tidak lagi melihat permaslahan tanah dari sisi pidana, tetapi juga hak atas tanah. Mudah-mudahan itu berkembang terus kedepannya,” kata Yarit.
Sementara, Kepala Seksi Pidana Umum, Eko Nuryanto, dalam penyampaiannya mengatakan, modus operandi yang ada terkait tindak pidana tanah merupakan ranahnya KUHP. Tindak pidananya mirip tindak pidana korupsi, selalu terorganisir dan biasanya dilakukan secara rapi agar tidak mudah terbaca.
Aparat penegak hukum dan instansi lain diharapkan melaksanakan tupoksinya secara baik. Diupayakan untuk meminimalisir berbagai kesalahan.
Diharapkan adanya undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana tanah,” kata Eko.